Deteksi Dini Semakin Krusial Demi Cegah Glaukoma

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Mitra Tarigan

google-image
Ilustrasi surat keterangan sakit / sehat dari dokter. Nieuwsblad.be

Ilustrasi surat keterangan sakit / sehat dari dokter. Nieuwsblad.be

IKLAN

CANTIKA.COM, JakartaGlaukoma nyaris tidak memiliki gejala pada tahap awal. Namun penyakit ini bisa memberikan dampak yang sangat fatal, yaitu kebutaan permanen. Peningkatan tekanan intraokular (TIO) menjadi faktor risiko utama terjadinya glaukoma. Namun, di samping itu, faktor anatomis ternyata juga turut berpengaruh, khususnya pada penyandang glaukoma jenis primer sudut tertutup kronik. Deteksi dini, salah satunya pemeriksaan anatomi mata, menjadi semakin krusial.

Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan bahwa glaukoma berada di peringkat ketiga penyebab kebutaan secara global, setelah kelainan refraksi dan katarak. Secara global, glaukoma merupakan penyebab utama kebutaan yang tidak dapat disembuhkan (irreversible). Jumlah penyandangnya diprediksi mencapai 76 juta di seluruh dunia.

Sementara di Indonesia, data yang sempat dirilis secara resmi memperlihatkan bahwa prevalensi glaukoma sebesar 0,46 persen atau setiap 4 sampai 5 orang per 1.000 penduduk. Lebih spesifik lagi, sebuah studi memperlihatkan, bahwa di DKI Jakarta, prevalensi glaukoma primer sudut tertutup (GPSTp) sebesar 1,89 persen, sedangkan glaukoma sudut terbuka (GPSTa) sebesar 0,48 persen, dan glaukoma sekunder sebesar 0,16 persen.

Dokter Subspesialis Glaukoma JEC Iwan Soebijantoro, mengatakan individu yang mengalami glaukoma primer sudut tertutup cenderung memiliki bilik mata depan yang lebih dangkal atau sempit. Faktor anatomis lainnya, seperti aksis bola mata pendek, lensa yang menebal, dan jarak antara lensa dengan permukaan iris posterior yang memendek, turut berandil menyebabkan glaukoma kategori ini. "Selaku praktisi, saya tergerak untuk menguak kemungkinan adanya faktor lain guna menemukan early diagnosis dan new treatment bagi penyandang GPSTp. Karenanya, tercetuslah penelitian untuk mengetahui korelasi antara kerusakan endotel kornea pada glaukoma primer sudut tertutup, khususnya kategori kronik,” kata Iwan Soebijantoro.

Penelitian yang digagas Dr. Iwan Soebijantoro, SpM(K) tersebut tertuang dalam disertasi “Hubungan Bilik Mata Depan yang Dangkal dengan Perubahan Morfologi Endotel Kornea pada Glaukoma Primer Sudut Tertutup Kronik”. Penelitian berlangsung mulai November 2018 hingga November 2019 dengan melibatkan 52 subjek.

Bila diklasifikasikan, glaukoma dibagi menjadi 3, yaitu glaukoma primer, sekunder dan juga kongenital. Glaukoma primer adalah glaukoma yang tidak diketahui penyebabnya. Glaukoma sekunder adalah glaukoma yang diakibatkan penyakit mata lain (seperti katarak, trauma, pembedahan, dsb.). Terakhir, glaukoma kongenital adalah glaukoma yang dialami sejak lahir. Glaukoma primer terbagi lagi menjadi dua jenis: glaukoma primer sudut terbuka (GPSTa) dan glaukoma primer sudut tertutup (GPSTp).

Khusus menyorot GPSTp, glaukoma jenis ini terklasifikasi lagi berdasarkan sifat serangannya. Pertama, glaukoma primer sudut tertutup akut (GPSTpA) yang penyandangnya mengalami sumbatan tiba-tiba pada jaringan trabekular sehingga memicu lonjakan tekanan intraokular secara mendadak. Kedua, glaukoma primer sudut tertutup kronik (GPSTpK) - penyandangnya mengalami gangguan outflow melalui sudut bilik mata depan yang dangkal sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intraokular secara perlahan.

Glaukoma primer sudut tertutup (GPSTp) kronik terjadi akibat kerusakan pada jaringan trabekular yang akan berdampak pada peningkatan tekanan intraokular dan progresivitas glaukoma. GPSTp kronik terbukti menyebabkan perubahan pada sel endotel kornea khususnya densitas sel. Bilik mata depan pada pasien GPSTp turut memperburuk disfungsi sel endotel kornea. Perubahan pada morfologi sel endotel kornea tersebut diperkirakan terjadi pula pada jaringan trabekular - mengingat keduanya berasal dari embriologi yang sama.

Dalam penelitiannya, dokter Iwan Soebijantoro mendapatkan 3 kesimpulan yang bisa diimplementasikan secara klinis. Pertama sudut bilik mata depan yang sangat dangkal (15 derajat atau kurang) memiliki konsekuensi yang lebih berat. Kedua, pasien dengan sel endotel kornea kurang dari 2000 sel/mm2 memiliki penipisan RNFL yang lebih berat. Ketiga, ketebalan kornea sentral, selama dalam rentang normal 500-550 μm, berkorelasi dengan penipisan sel saraf

Iwan mengatakan penelitian awal ini bertujuan mempelajari karakteristik kornea khususnya sel endotel kornea pada GPSTp kronik. "Adanya hubungan antara densitas sel endotel kornea dengan ketebalan retinal nerve fiber layer (RNFL), diharapkan dapat menjadi pemeriksaan alternatif atau penunjang dalam menilai derajat keparahan GPSTp kronik yang dialami oleh pasien,” katanya.

Dari hasil penelitian itu, kata Iwan, menegaskan bahwa pemeriksaan klinis yang sistematis dan cermat pada anatomi mata masih menjadi landasan bagi tata laksana glaukoma. "Artinya, tanpa perlu menunggu keluhan, sebaiknya pemeriksaan mata dilakukan sedini mungkin dan berkala. Bukan hanya bagi penyandang glaukoma primer sudut tertutup saja, tetapi bagi seluruh kalangan,” kata Iwan Soebijantoro.

Mengakomodir kebutuhan pendeteksian dini glaukoma, JEC sebagai eye care leader telah memiliki JEC Glaucoma Service yang komprehensif dan modern bagi pasien glaukoma, mulai tahapan edukasi dan konsultasi, diagnostik, serta tindakan medis hingga bedah. Tak hanya didukung teknologi yang mutakhir, JEC Glaucoma Service diperkuat 11 dokter spesialis glaukoma dan tenaga medis mumpuni.

Dari segi layanan, JEC Glaucoma Service juga memungkinkan prosedur pemeriksaan dengan journey time lebih singkat, namun tetap mengedepankan penanganan glaukoma yang andal dan berkesinambungan. JEC Glaucoma Service menawarkan opsi pengecekan secara komplet, mulai pemeriksaan tekanan bola mata berakurasi sangat tinggi (Goldmann Applanation Tonometry), evaluasi struktur saraf mata (Optical Coherence Tomography), pemeriksaan luas lapang pandang (Humphrey Visual Field Perimetry), pemeriksaan sudut bilik mata depan (gonioscopy), hingga pemeriksaan optic disc dan retina mata (Foto Fundus).

Baca: Jangan Tunda Perawatan Mata, Menggunakan Obat Tetes Tidak Membatalkan Puasa


FADHILAH PRILIA

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."