Wahana Keluarga Cerebral Palsy, Hadir Agar Para Ibu Tak Lagi Merasa Sendiri

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Ecka Pramita

google-image
Workshop Wahana Keluarga Cerebral Palsy dengan RSA UGM/Foto: Doc. WKCP

Workshop Wahana Keluarga Cerebral Palsy dengan RSA UGM/Foto: Doc. WKCP

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta -  Merayakan Hari Ibu tak melulu dengan selebrasi perayaan, tetapi juga lebih dalam merefleksikan apa yang bisa dilakukan untuk mendukung peran ibu, khususnya bagi ibu dengan anak berkebutuhan khusus atau disabilitas. Betapa pentingnya dukungan -sekecil apapun- yang bisa diberikan untuk meyakinkan mereka bahwa selalu ada harapan.

Belum banyak masyarakat awam yang mengetahui jika cerebral palsy termasuk dalam disabilitas fisik, tentunya peran komunitas menjadi penting bagi para orang tua. Tak sekadar menjadi salah satu sumber informasi terkait dengan tumbuh kembang anak, tetapi fungsinya jauh melampui itu yakni menjadi pendukung yang penuh empati.

Agaknya di situlah salah satu peran Wahana Keluarga Cerebral Palsy (WKCP) yang didirikan pada Maret 2012. Sebab menurut Ketua WKCP Hertiana Prasetyawati pendamping memiliki peran yang sangat penting untuk mendukung semangat ibu dalam mendampingi anak cerebral palsy. Kerjasama antara suami dan istri merupakan hal signifikan dalam meningkatkan kualitas hidup anak cerebral palsy. “Mereka perlu saling dukung dalam setiap program terapi yang harus dijalani anak cerebral palsy dalam kesehariannya,” ucapnya.

Oleh karena itu, pengetahuan tentang cerebral palsy ini, menurut Hertiana tidak hanya diperlukan oleh seorang ibu, tetapi harus dimiliki oleh pendampingnya. Karena suami perlu bergandengan tangan dengan istri untuk bisa memberikan edukasi ke lingkungan sekitar baik keluarga terdekat maupun masyarakat umum, sehingga empati bisa terbentuk di lingkungan mereka.

Ketua Wahana Keluarga Cerebral Palsy Hertiana Prasteyawati yang berkerudung merah/Foto: Doc. WKCP

Sekretaris WKCP Reny Indrawati menambahkan jika suami dan istri tidak saling dukung, maka akan lebih sulit untuk membentuk empati di lingkungan. Padahal di lingkungan sering melakukan berbagi aktivitas sosial masyarakat yang tentu saja sebagai keluarga, mereka juga perlu ikut berpartisipasi.

Namun terkadang, sebuah keluarga yang memilki anak cerebral palsy, seorang ibu tidak selalu bisa ikut berperan aktif di lingkungannya. Hal ini bisa saja terhambat karena kondisi anak yang lagi tidak sehat, anak yang tidak bisa ditinggal atau tidak memungkinkan untuk dibawa dalam kegiatan sosial, atau kebetulan saat itu ada jadual terapi.

“Nah apabila empati belum terbentuk di lingkungan, maka kemungkinan menjadi bahan gunjingan di masyarakat bisa terjadi. Namun apabila pendamping selalu memberi dukungan penuh kepada istrinya, maka semangat dan kekompakan mereka akan secara otomatis dirasakan oleh lingkungan sekitarnya, sehingga empati pun secara perlahan-lahan akan terbentuk,” ungkap Reny.

Baca: Spesial Hari Ibu, Agar Aziza Mendapatkan Kesempatan yang Sama

Komunitas Hadir untuk Mendukung dan Menguatkan

Ashari Sutrisno Penanggung jawab IT dan Database Wahana Keluarga Cerebral Palsa/Foto: Doc. WKCP

Wadah atau komunitas hadir untuk saling mendukung dan menguatkan, begitu pula dengan Komunitas WKCP dengan berbagai kegiatannya telah membuat para orang tua dengan kondisi yang sama merasa tidak sendirian. Seperti yang dikatakan oleh Penanggung jawab IT dan Database WKCP, Ashari Sutrisno.

"Mereka merasa memiliki banyak teman senasib, dan perasaan senasib ini dapat mengurangi beban pikirannya, dan membawa manfaat-manfaat lain. Para orang tua kemudian saling berkunjung, berdiskusi, ngobrol-ngobrol tentang pengalaman masing-masing dan tukar menukar cara terapi dan pengobatan anak CP." ujar Ashari. 

Selain itu, yang kelihatan malas-malas untuk terapi, kemudian dikunjungi oleh teman lain, diajak bareng untuk terapi bersama. Sharing pengetahuan antar antar orang tua telah membuat mereka menjadi terbuka pikirannya dan makin tegar. Mereka bisa menerima kondisi buah hatinya, dan jadi tahu bagaimana mensikapi hidup ini dan bagaimana harus mendampingi anak mereka. 

Misal, Ashari memberikan contoh orang tua dengan anak cerebral palsy sudah bisa menjalani hidup seperti halnya orang-orang lain yang tidak memiliki anak berkebutuhan khusus, hanya ketambahan tugas lain, yaitu merawat atau memberikan terapi anaknya. Dia masih tetap bisa bekerja, bisa jalan-jalan, berwisata, bahkan dengan mengajak anak mereka, karena anak-anak butuh berwisata.

"Selain itu, mereka sudah bisa terbuka, yang tadinya menyembunyikan anak-anaknya kemudian dia ceritakan ke orang lain, terutama keluarga besarnya, bahwa dia memiliki anak cerebral palsy. Dengan demikian, sekarang dia justru bisa minta dukungan ke orang-orang tersebut, minimal dukungan doa. Sehingga disarankan mereka bergabung dengan komunitas, supaya tidak merasa sendiri dan melalui komunitas banyak informasi terkait upaya meningkatkan kualitas hidup anak-anak," paparnya. 

Acara peringatan Hari Cerebral Palsy sedunia/Foto: Doc. WKCP

Sarana Infomasi dan Pengetahuan yang Membangun

Sesuai dengan visi WKCP yaitu berkontribusi untuk meningkatkan kebisaan, kemampuan, pengetahuan dan kemandirian penyandang Cerebral Palsy dan keluarganya.  Kemudian misi WKCP yaitu melaksanakan program yang dapat meningkatkan kebisaan, kemampuan, pengetahuan dan kemandirian penyandang Cerebral Palsy dan keluarganya serta komunitasnya, maka tentu saja WKCP fokus melakukan program yang bisa memberi manfaat untuk anggotanya.

Hertiana mengatakan Banyak hal yang bisa didapatkan ketika keluarga yang memiliki anak CP bergabung di WKCP seperti berbagi tentang masalah tumbuh kembang, terapi, update perkembangan pengobatan gangguan penyerta, alat bantu yang diperlukan, penyaluran batuan dari donator dan lain-lain.

"Namun, berdasarkan pengalaman kami di WKCP selama ini, biasanya manfaat terbesar yang dirasakan oleh keluarga yang baru bergabung di WKCP adalah kehangatan dan merasakan penerimaan dalam keluarga besar yang utuh dan bisa saling memahami sehingga orang tua menjadi lebih bersemangat belajar dan berbagi untuk anaknya yang menyandang cerebral palsy bahkan mereka jadi bisa mengetahui bagaimana cara berkomunikasi dengan anaknya," ungkap Hertiana. 

"Karena seorang anak yang menyandang CP juga memiliki kemungkinan untuk mengalami gangguan penyerta seperti epilepsi, gangguan perilaku, gangguan intelektual, gangguan penglihatan, gangguan bicara, gangguan tidur, nyeri, dan lain-lain. Dengan bergabung dikomunitas, maka orang tua memilki banyak kesempatan untuk belajar baik dari sesama orang tua maupun tenaga profesional," tambah Reny 

Baca: Wujud Cinta Tanpa Syarat dari Kartika Nugmalia untuk 3 Anaknya yang Istimewa

Lebih dekat dengan Wahana Keluarga Cerebral Palsy

Sekretaris Wahana Kelarga Cerebral Palsy, Reny Indrawati/Foto: Doc. WKCP

Menurut Reny untuk membangun support system bagi anggotanya, WKCP melakukan berbagai kegiatan peningkatan kapasitas pengetahuan dan kemampuan bagi orang tua yang dikemas dengan berbagai aktivitas seperti:

1. Diskusi rutin

Dalam kegiatan diskusi rutin ini biasanya WKCP mengumpulkan orangtua/keluarga yang memiliki anak CP di acara bulanan atau dua bulanan dengan mengedukasi baik itu tentang pengertian umum cerebral palsy dan penanganannya, kesehatan gigi, psikologi, pendidikan, pencernaan, penanganan terbaru terhadap cerebral palsy dan lain-lain, dimana tujuan edukasi ini untuk meningkatkan kualitas hidup anak.

Kegiatan ini tentu saja dilakukan WKCP melalui kerjasama dengan berbagai narasumber yang profesional di bidangnya seperti instansi rumah sakit, universitas bahkan para profesional mandiri baik dari Indonesia maupun luar negeri. Bentuk kegiatannya bisa hanya berupa diskusi santai, namun bisa juga dilakukan dalam bentuk seminar ataupun workshop.

2. Kelas edukasi intensif

Kegiatan ini dilakukan WKCP untuk orang tua dan relawan. Untuk para orang tua atau pengasuh yang memangani anak cerebral palsy biasanya berfokus pada peningkatan kapasitas mereka dalam menangani anak cerebral palsy di rumah. Jadi dari WKCP akan menyediakan tim terapis untuk melatih para orang tua ataupun keluarga yang memiliki tanggung jawab mengasuh anak cerebral palsy sehingga bisa melakukan kegiatan terapi ringan dan bermanfaat untuk bisa dilakukan pada anaknya. Tujuannya tentu saja untuk mendukung kegiatan terapi yang selama ini dilakukan anak cerebral palsy di rumah sakit ataupun klinik.

Sedangkan kelas edukasi intensif untuk para relawan adalah melatih mereka tentang pengetahuan dasar dan lanjutan dalam menangani anak-anak cerebral palsy. Di kegiatan WKCP, para relawan yang terdiri dari mahasiswa dari berbagai jurusan, mereka sering berinteraksi dalam kegiatan yang dilakukan oleh WKCP.

Kelas edukasi intensif untuk para orang tua dengan cerebral palsy/Foto: Doc. WKCP

Sehingga mereka adalah bagian penting dalam mendukung WKCP untuk meningkatkan support system bagi anggota WKCP. Dengan adanya para mahasiswa yang telah dilatih tentang bagaimana memegang, membantu anak cerebral palsy sehingga dalam setiap kegiatan yang dilakukan WKCP, para orang tua dan keluarga benar-benar bisa menikmati dan merasakan kehangatan dalam keluarga besar WKCP, karena semua pihak bisa mengerti tentang anak-anak mereka.

"Namun, selama masa pandemi covid 19 ini kedua kegiatan ini tidak bisa kami lakukan, karena kondisi kesehatan anak-anak cerebral palsy yang beragam dan meningkatnya resiko mereka, sehingga berbagai kegiatan dilakukan secara daring dan intesitas kegiatan juga lebih dikurangi," ungkap Reny. 

Berikut kegiatan yang pernah digelar oleh WKCP:

a. Menyebarkan flyer tentang cerebral palsy

b. Menyampaikan hasil penelitian yang telah dilakukan WKCP seperti keterkaitan cerebral palsy dengan infeksi TORCH (Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus, Herpes), kemudian juga penelitian WKCP tentang aksesibilitas pendidikan terhadap anak cerebral palsy di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Hasil dari penelitian tersebut disampaikan ke berbagai instansi pemerintah dan LSM.

c. Mengadakan kegiatan bersama anak-anak Cerebral Palsy di area wisata, seperti merayakan hari cerebral palsy sedunia setiap tanggal 6 Oktober. Kegiatan ini selain untuk mengikat kehangatan dalam keluarga juga bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat umum dan pemerintah tentang disabilitas dan aksesibilitas fasilitas umum.

Baca: Menteri Bintang Puspayoga: Hari Ibu adalah Tonggak Perjuangan Perempuan

ECKA PRAMITA 

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."