Pekerja Seni Perempuan Alami Beban Emosional Lebih Tinggi Dibanding Pria

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Mitra Tarigan

google-image
Ilustrasi bekerja dari hotel atau work from hotel. Dok. Pegipegi

Ilustrasi bekerja dari hotel atau work from hotel. Dok. Pegipegi

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Riset Koalisi Seni menemukan pekerja seni perempuan lebih terbebani kerja emosional. Sebab, ada ekspektasi masyarakat terhadap perempuan yang berbeda ketimbang pengharapan untuk lelaki.

Riset Koalisi Seni pada 2021 mengumpulkan data dari survei daring yang diisi 202 responden serta analisis wawancara mendalam dengan 9 narasumber. Informan wawancara mendalam adalah perempuan (cisgender maupun transgender) yang bekerja di sektor seni dengan peran di balik layar dan menangani interaksi publik secara intensif. Penelitian tersebut dapat diunduh gratis di bit.ly/risetmerawatseni.

Hasil survei menunjukkan pekerja seni perempuan cenderung bekerja dengan intensitas kerja tinggi dan beban emosional besar, tidak dibekali cukup keterampilan kerja, kurang punya pengaruh dalam pengambilan keputusan, dan bekerja dengan durasi panjang. Hampir separuh responden 46 persen mengaku bekerja tanpa kontrak tertulis.

Tempat kerja pun bukan ruang aman, karena lebih dari 25 persen pernah mengalami kekerasan di tempat kerja setidaknya sekali dalam setahun terakhir. Kondisi penghasilannya mengkhawatirkan, dengan 41 persen mengaku upah kerjanya belum memenuhi standar UMR tempat mereka tinggal. Selain itu, mayoritas (82 persen) responden tidak menjadi anggota serikat atau wadah sejenis. “Perempuan dianggap punya sifat feminin seperti kooperatif, perhatian, merawat, dan ramah. Sifat itu dianggap terberi dan alamiah untuk perempuan, padahal kenyataannya tidak. Dampaknya, perempuan yang jadi pekerja seni harus menanggung beban kerja emosional,” ujar Koordinator Peneliti Kebijakan Koalisi Seni, Ratri Ninditya, dikutip dari keterangan tertulisnya.

Sebagai informasi, kondisi kerja emosional meliputi segala bentuk pengelolaan emosi pribadi di tempat kerja untuk ditampilkan ke orang lain, menangani emosi orang lain, dan mengubah emosi orang lain. Bentuk kerja emosional yang teridentifikasi dalam riset ini adalah menampilkan maskulinitas, menciptakan suasana kondusif, menjaga reputasi, menghadapi perundungan, melakukan interaksi sosial secara terus-menerus, menangani keluhan, memberikan bimbingan psikologis, dan menjaga citra di media sosial.

Dampaknya, narasumber harus mengalami kelelahan fisik, depresi, paranoia, kelelahan mental, dan sakit kepala. Kebanyakan narasumber bekerja di tempat tanpa jejaring pengaman memadai terhadap implikasi kerja emosional, sehingga dukungan hanya bisa diharapkan dari keluarga atau komunitas tempat mereka tinggal. Sebagian besar tempat kerja narasumber tidak memberikan dukungan kesehatan dalam bentuk asuransi kesehatan maupun penggantian biaya berobat. Sistem pelindungan di tempat kerja dalam bentuk forum diskusi atau serikat pekerja pun belum dimiliki secara merata di berbagai tempat kerja.

“Kondisi kerja buruk ini berbanding terbalik dengan tingginya motivasi kerja responden. Tingginya motivasi di tengah buruknya kondisi kerja bisa berdampak pemakluman dan pelanggengan eksploitasi, serta pensiunnya pekerja dari sektor seni budaya,” kata Peneliti Kebijakan Koalisi Seni, Harits Paramasatya.

Baca: Alasan Chelsea Islan Lebih Senang Disebut Seniman daripada Artis

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."