Hari Antikekerasan Terhadap Perempuan, Aplikasi Ini Hadir Memberi Perlindungan

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Ecka Pramita

google-image
Ilustrasi kekerasan seksual. Doc. Marisa Kuhlewein (QUT) and Rachel Octaviani (UPH)

Ilustrasi kekerasan seksual. Doc. Marisa Kuhlewein (QUT) and Rachel Octaviani (UPH)

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta -  Isu kekerasan terhadap perempuan dan kasus pelecehan seksual hingga saat ini masih menjadi masalah besar di Indonesia. Bertepatan dengan hari antikekerasan terhadap perempuan, sekelompok penggiat startup tanah air muncul dan melahirkan sebuah aplikasi bernama Akasia.

Aplikasi ini dipelopori oleh Dian Mustika yang juga merupakan founder Komunitas Pejuang Vaginismus, bersama dua orang rekannya Dimas Agil dan Rual Syarif.

"Awal aplikasi ini tercipta adalah saat saya berada dalam Komunitas Pejuang Vaginismus. Dari beberapa keluh kesah anggota, dan beberapa teman terdekat Saya yang pernah mengalami kekerasan seksual, Saya akhirnya memutuskan untuk membuat aplikasi yang nantinya bakal menjadi guardian bagi perempuan Indonesia," kata Dian Mustika melalui siaran pers, Kamis, 25 November 2021. 

Seksolog Klinis Zoya Amirin memaparkan seseorang yang sedang mengalami kondisi pelecehan seksual secara psikologis memiliki kecenderungan untuk tidak bisa berbuat banyak. “Adanya aplikasi ini bertujuan membuat siapa saja yang mempunyai niat untuk melakukan kejahatan seksual menjadi berpikir seribu kali untuk melakukannya. Dengan demikian, masyarakat akan merasa lebih safe tetapi tetap waspada,” kata Zoya.

Zoya berharap dengan pertumbuhan pengguna internet yang cukup pesat di Indonesia, diharapkan masyarakat juga mau menginstall aplikasi antikekerasan seksual ini.

Seksolog Zoya Amirin. TEMPO/Nurdiansah

Berdasarkan data dari Komnas Perempuan dari Januari hingga September 2021 terdapat 4.000 kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Perempuan merupakan pihak yang selalu dilemahkan dalam kasus ini. Adanya budaya patriarki yang masih dominan di Indonesia membuat banyak perempuan tidak mau speak up saat mengalami kekerasan. Untuk berteriak minta tolong saja biasanya perempuan tidak banyak yang memiliki keberanian.

Problem inilah yang berusaha dijawab oleh aplikasi bernama Akasia. Aplikasi ini memiliki fitur utama bernama "Panic Button".

Saat seorang perempuan mengalami kekerasan atau pelecehan seksual di sebuah titik lokasi, yang perlu dia lakukan hanyalah menekan sebuah tombol dari ponselnya. Selanjutnya orang sekitar yang berada dalam radius terdekat yang juga menginstal aplikasi ini akan menerima notifikasi dari titik kejadian. Diharapkan mereka mau dan bisa membantu sang korban pada saat itu.

Aplikasi berbasis komunitas ini memiliki tagline: Saat Darurat Teman Terdekat Siap Merapat. Artinya semakin banyak aplikasi ini diinstall oleh pengguna, semakin besar peluang masyarakat bisa membantu satu sama lain, dan menyelamatkan banyak nyawa dari tindak kejahatan seksual.

Tampilan aplikasi antikekerasan seksual berbasis komunitas/Foto: Doc. Akasia

Dian memiliki mimpi agar aplikasi ini bisa menjadi sebuah aplikasi esensial yang harus ada dalam device setiap orang. Pasalnya aplikasi ini akan berperan sebagai ‘guardian angel’ yang membuat penggunanya merasa aman kapanpun dan dimanapun. Tidak hanya korban yang dapat merekam kejadian, namun pengguna aplikasi lain yang disebut sebagai saksi, juga dapat merekam dan atau mengarsipkan kejadian di dalam fitur Arsip.

"Data-data kejadian yang sudah dimasukkan ke dalam fitur arsip ini, dapat digunakan sebagai bukti untuk dilaporkan ke pihak berwajib, dan demi keamanan korban, pelaku dan saksi, data tersebut tidak dapat diakses secara bebas oleh para pengguna aplikasi. Namun, mereka masih dapat mengakses informasi dari fitur arsip ini berupa zona atau lokasi kejadian agar dapat tetap waspada apabila berada maupun melintasi lokasi tersebut," pungkas Dian. 

Baca: Hari Antikekerasan Terhadap Perempuan, Kawal Terus UU Tindak Pidana

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."