4 Fakta Menarik Film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Ecka Pramita

google-image
Press screening film Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas yang meraih hadiah utama Golden Leopard di Locarno Film Festival/Foto: Ecka Pramita

Press screening film Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas yang meraih hadiah utama Golden Leopard di Locarno Film Festival/Foto: Ecka Pramita

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas,
pemenang hadiah utama Golden Leopard di Locarno Film Festival, segera tayang mulai 2 Desember di bioskop seluruh Indonesia.

Film yang disutradarai pemenang Piala Citra Edwin ini dibintangi oleh Marthino Lio dan Ladya Cheryl juga turut dibintangi Reza Rahadian, Ratu Felisha, dan memperkenalkan Sal Priadi.

Diangkat dari novel penulis dengan penghargaan internasional Eka Kurniawan, film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas mendapatkan klasifikasi 17+ dari Lembaga Sensor Film, meski begitu Palari Films menghimbau film ini untuk 18+ Khusus Dewasa.

Film berkisah tentang Ajo Kawir, seorang jagoan yang tak takut mati. Hasratnya yang besar untuk bertarung didorong oleh sebuah rahasia — ia impoten. Ketika berhadapan dengan seorang petarung perempuan tangguh bernama Iteung, Ajo babak belur hingga jungkir balik lalu dia jatuh cinta.

Akankah Ajo menjalani kehidupan yang bahagia bersama Iteung dan pada akhirnya berdamai dengan dirinya? Berikut empat fakta mengapa kamu disarankan untuk menonton film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. 

1. Meraih penghargaan Golden Leopard

Poster film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Foto: Palari Films.

Film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas bersaing dengan film terbaru Ethan Hawke, “Zeros and Ones” dan sejumlah film dari belahan dunia lainnya.

Penghargaan ini merupakan catatan spesial karena Edwin merupakan orang Indonesiapertama yang memenangkan Golden Leopard, penghargaan tertinggi yang pernah dimenangkan oleh sutradara kaliber dunia seperti Stanley Kubrick, Mike Leigh, Jafar Panahi, Jim Jarmusch.

Selain itu dalam lima tahun terakhir, baru kali ini film panjang Indonesia memenangkan hadiah utama di festival bergengsi Eropa. Edwin mengatakan penghargaan Golden Leopard ini semacam vaksin, booster, atau vitamin yang diharapkan mampu menguatkan kembali film Indonesia dan segenap jiwa raga pecinta film indonesia di manapun mereka berada.

2. Latar waktu tahun 1980-an yang klasik

Berlatar waktu di akhir tahun 80an dan awal 90an, film ‘Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas’ berusaha menghadirkan estetika sinema dari era tersebut melalui banyak cara. Salah satunya adalah penggunaan seluloid.

Edwin menjelaskan, “Referensi saya tentang gambar sangat dipengaruhi oleh imaji-imaji yang terekam dalam berbagai acara TVRI seperti Flora dan Fauna, Sesame Street, hingga Si Unyil yang kebanyakan menggunakan medium pita seluloid 16mm.

"Bagi saya, 16 mm adalah representasi realita sehari-hari yang paling tepat untuk menggambarkan perasaan dan ingatan saya terhadap periode 80/90an. Tentu saja keinginan menggunakan pita seluloid dalam proses shooting film ini perlu didukung oleh para produser yang gigih dalam merealisasikannya," ungkapnya melalui press screening, Rabu 17 November 2021.

Pita seluloid, selain harganya yang sedikit lebih mahal dibandingkan dengan medium digital, di Indonesia tidak ada lagi laboratorium dan distributor pita film 16mm. Segala pengerjaan laboratorium harus dikerjakan di Jepang. Sebuah pilihan yang tidak mudah mengingat segala sesuatunya juga harus dikerjakan dalam masa pandemi. 

3. Diramaikan pemeran pendukung dari para bintang senior

Tak tanggung-tanggung film yang berlokasi di Rembang ini menampilkan sederet bintang senior dengan porsi sedikit, tetapi menjadi jalinan alur cerita yang tidak bisa dilewatkan. Mulai dari Christine Hakim yang berperan sebagai mak urut alat kelamin pria, Ayu Laksmi menjadi nenek Iteung, Lukman Sardi, Piet Pagau, dan Djenar Maesa Ayu.

Kru yang terlibat di film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas di Festival Film Locarno dan memenangkan grand prize Golden Leopard. Foto: Instagram Palari Film.

4. Mengangkat isu sensitif dengan sajian ringan

Mengusung tema kisah cinta tragis di dunia yang maskulin, film ini menjadi pernyataan bagi Edwin mengenai toxic masculinity. Edwin yang tak hanya menyutradarai tapi juga turut menulis skenarionya bersama Eka Kurniawan mengatakan, “Tumbuh besar di masa kejayaan rezim militer, cerita dan mitos mengenai heroisme dan kejantanan lelaki menjadi sangat familiar bagi saya."

Kejantanan adalah tolok ukur kelelakian. Budaya toxic masculinity memaksa lelaki untuk tidak terlihat lemah dan masih sangat terpampang di Indonesia hari ini, di masyarakat yang seharusnya kini lebih terbuka pikirannya dan demokratis ketimbang di era 80an/90an.

"Saya melihat Indonesia berusaha keras mencoba untuk mengatasi rasa takutnya akan impotensi. Ketakutan yang membawa kita kembali ke budaya kekerasan yang dinormalisasi," ujarnya.

Baca: Selamat! Film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas Diganjar Golden Leopard

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."