Penjualan Antibiotik Tanpa Resep Dokter Tingkatkan Angka Resistensi Antimikroba

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Mitra Tarigan

google-image
Ilustrasi obat. TEMPO/Subekti

Ilustrasi obat. TEMPO/Subekti

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) RI Periode 2014-2021 Harry Parathon mengatakan banyaknya penggunaan antibiotik yang tidak sesuai dengan rekomendasi dokter yang merupakan salah satu penyumbang terbesar angka resistensi antimikroba (AMR) di dunia kesehatan. "Banyaknya penjualan antibiotik tanpa resep yang kerap terjadi di Indonesia merupakan salah satu faktor pemicu AMR," kata Harry dalam seminar virtual bertajuk Urgensi Penerapan Kebijakan dalam Peresepan Penjualan dan Konsumsi Antibiotik pada Jumat 5 November 2021.

Harry memaparkan kondisi penjualan antibiotik tanpa resep dokter itu menjadikan AMR salah satu dari 10 ancaman kesehatan global yang paling berbahaya di dunia. Berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia, WHO, penggunaan antibiotik meningkat 91 persen secara global dan meningkat 165 persen di negara-negara berkembang pada periode 2000-2015. Implikasi dari AMR adalah sulitnya penyembuhan penyakit dan semakin tingginya biaya kesehatan.

Di Indonesia, peraturan mengenai penjualan obat antibiotik diatur dalam UU Obat Keras tahun 1949, yang disebutkan bahwa yang berwenang untuk meresepkan obat antibiotik hanyalah dokter, dokter gigi, dan dokter hewan. "UU Obat keras tersebut menyatakan bahwa obat keras adalah obat-obatan yang tidak digunakan untuk keperluan teknik, mempunyai khasiat mengobati, menguatkan, mendesinfeksikan tubuh manusia, baik dalam bungkusan maupun tidak," kata Harry.

"Selain itu disebutkan juga bahwa pada bungkus luar obat keras harus dicantumkan tanda khusus ini berupa kalimat ‘Harus dengan resep dokter’ yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan No. 197/A/SK/77 tanggal 15 Maret 1977," katanya.

Selanjutnya, dokter dari Universitas Airlangga Surabaya itu menjelaskan, Kementerian Kesehatan mengeluarkan Penatagunaan Antimikroba (PGA) yang didasari oleh Permenkes no 8/2015 tentang implementasi PPRA di rumah sakit.

Peraturan ini bertujuan untuk meningkatkan kesembuhan pasien, mencegah dan mengendalikan resistansi antimikroba, menurunkan angka kejadian rawat inap berkepanjangan, dan menurunkan kuantitas penggunaan antimikroba.

"Tim dari PGA ini berfungsi untuk membantu pelayanan kesehatan di rumah sakit dalam menerapkan penggunaan antimikroba secara bijak dan mendampingi dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) dalam menetapkan diagnosis penyakit infeksi, memilih jenis antimikroba, dosis, rute, saat dan lama pemberian," kata Harry.

"Sedangkan, tugas dari DPJP adalah menegakkan diagnosis infeksi bakteri, memberikan antimikroba sesuai dengan panduan pelayanan klinik, dan bekerja sama dengan Tim PGA KSM dan Tim PGA KPRA-RS," katanya.

Baca: Jangan Sok Obati Diri dengan Antibiotik, Waspada Risikonya

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."