Dampingi Penyintas Kekerasan Seksual, Menjadi Support System dan Pendengar

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Ecka Pramita

google-image
Ilustrasi kekerasan seksual. Freepik.com

Ilustrasi kekerasan seksual. Freepik.com

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Tidak mudah menjadi penyintas yang berani melapor, belum lagi kalau speak up di media sosial ada ancaman UU ITE

Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Livia Istania DF Iskandar mengatakan proses pemulihan bagi penyintas kekerasan seksual harus diiringi dengan dukungan sosial yang penuh.

Support system itu menjadi sangat penting. Kalau penyintas hidup di lingkungan yang tidak mendukung atau lingkungan yang menyalahkan korban, tentu proses pemulihannya menjadi lebih panjang,” kata Livia.

Ia mengatakan ketika penyintas memiliki keberanian untuk speak up atas kasus yang dialaminya, pendengar tidak boleh menilai dan menghakimi sebab respons psikologis setiap orang memiliki tingkat kerumitan yang berbeda-beda.

“Pada saat dia membutuhkan orang untuk menjadi tempat bercerita, kita bisa menemaninya. Atau menemaninya saat perlu bantuan ke psikolog. Menemaninya selama perjalanan pemulihan. Jangan menjadi hakim. Jangan sekali-kali membandingkannya dengan orang lain. Sering kali, kata-kata malah bisa menyakiti,” terang Livia.

Ia juga menyebutkan saat penyintas melapor kasus kekerasan seksual kepada penegak hukum, seharusnya laporan tersebut dapat diterima terlebih dahulu.

“Menurut saya, yang menerima laporan itu kan tidak dalam posisi untuk menjadi hakim, ya, seharusnya bisa menerima. Tidak mudah menjadi penyintas yang berani melapor, belum lagi kalau speak up di media sosial ada ancaman UU ITE,” ujar perempuan pendiri Yayasan Pulih ini.

Livia mengungkapkan bahwa proses pemulihan setiap penyintas memang berbeda-beda, tetapi secara umum dapat dilihat melalui dua faktor, yakni faktor risiko dan faktor pelindung.

Seorang korban kekerasan seksual yang memiliki risiko lebih banyak cenderung lebih sulit untuk menjadi penyintas yang berdaya. Sebaliknya, seorang korban yang memiliki perlindungan lebih banyak dan kuat, orang tersebut akan lebih mudah untuk menjadi penyintas berdaya.

“Di beberapa tempat juga biasanya disediakan support group atau kelompok penyintas yang bisa saling menguatkan dengan apa yang mereka alami dan apa yang membuat mereka bangkit,” tambahnya.

“Pemulihan pada dasarnya dimulai dari diri sendiri. Apakah dia bisa menerima dan menjadi dirinya sendiri, apakah bisa mengatasi rasa marah dan benci yang bergulat di dalam dirinya, dan apakah bersedia konseling dengan psikolog,” kata Livia.

Ia menekankan bahwa kasus kekerasan seksual merupakan permasalahan yang kompleks. Dukungan sosial yang lebih luas sangat dibutuhkan, meliputi perbaikan sistem hukum dan sistem pemulihan agar penyintas berani untuk melaporkan kasusnya serta mendapatkan keadilan.

“Negara perlu hadir dalam perlindungan dan pemulihan. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang sudah digagas memang lebih komprehensif, jadi tidak hanya ditekankan pada hukuman untuk pelaku tetapi juga tentang bagaimana proses pemulihan bagi penyintas,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa proses menata dan membangun kembali hidup penyintas merupakan bagian dari hak pemulihan yang harus didapatkan.

“Oleh sebab itu, LPSK juga turut hadir untuk memberi perlindungan supaya seorang saksi korban dapat memberi pernyataan secara aman dan nyaman selama proses pidana,” pungkas Livia.

Baca: Ajarkan Anak Berani Bicara untuk Mengentaskan Kekerasan Seksual

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."