Tragic Optimism, Obat Manjur Penawar Jeratan Toxic Positivity

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Kinanti Munggareni

google-image
Fenomena budaya toxic positivity melonjak di masa pandemi, tragic optimism bisa jadi penawarnya. (Pexel/Yousuf Sarfaraz)

Fenomena budaya toxic positivity melonjak di masa pandemi, tragic optimism bisa jadi penawarnya. (Pexel/Yousuf Sarfaraz)

IKLAN

CANTIKA.COM, JakartaSuatu hari di akhir tahun 2019, mantan rekan kerja saya mengirimkan unggahan carrousel di media sosial Instagram setelah proyek kami  gagal di tengah jalan. Isinya adalah kalimat-kalimat penyemangat untuk mereka yang tengah mengalami hari-hari terberat dalam hidupnya. Kala itu, saya tersenyum dan merasa terharu akan perhatiannya. Namun, siapa sangka konten positif seperti itu punya sisi gelap? Namanya adalah toxic positivity

Candu positivity melenakan, tapi berbahaya bagi kesehatan mental

Urban dictionary mendefinisikan toxic positivity sebagai keyakinan bahwa, "jika Anda tetap positif, Anda akan mengatasi rintangan apa pun," sedemikian rupa sehingga Anda membatalkan respons emosional alami dan orang yang memiliki perasaan itu.

Saya beruntung bahwa teman saya itu tidak membanjiri saya dengan kutipan positif setiap saat. Tapi algoritma media sosial berkata lain. Feed Instagram dan lini massa saya penuh dengan ujaran-ujaran positif, terutama memasuki masa pandemi di awal 2020. Saya pun terjebak dan mati-matian untuk mengenakan kacamata mawar agar bisa melihat segala kebaikan dari momen tak mengenakkan.

Sanjeet Ray, seorang pelatih kehidupan dan bisnis, mengatakan pada Vogue bahwa menegasi hal negatif dalam hidup bisa berbahaya bagi kesehatan mental.

“Ini adalah sudut pandang kaku yang merupakan tanda bahaya bagi kesehatan mental. Itu artinya Anda tidak dapat memproses kegagalan,” kata Ray.

Istilah toxic positivity dalam kamus Urban Dictionary pada Desember 2020 lalu. Meski demikian istilah ini sudah ada sejak lama. Namun, fenomena budaya ini kemudian menjadi berlebihan selama masa lockdown akibat pandemi Covid-19. 

“Kita dibombardir dengan gagasan tentang bagaimana waktu ini harus digunakan untuk menulis novel, mempelajari bahasa baru, dan menemukan zen kami dan bahwa kami entah bagaimana gagal jika kami tidak melakukan hal-hal ini,” kata dokter Margaret Seide, psikiater asal New York, seperti dikutip dari Health.

Menegasi emosi negatif, salah satu yang rentan timbul di masa pandemi, membuat kita tidak mengenali perasaan diri sebenarnya. Masalahnya, semakin ditutupi, keresahan dan kegalauan itu akan semakin menjulang.

“Kita adalah manusia dan bukan robot, jadi kami tidak hanya bisa bersikap positif atau bahagia. Akan ada saat-saat negatif dan sedih dan tidak apa-apa. Anda harus membiarkan diri Anda merasakan emosi itu juga,” kata Sanjeet Ray.

Penawar racun “kebaikan” bernama tragic optimism

Saya menggemari film-film Woody Allen. Salah satunya, meski bukan yang terbaik bagi saya, adalah Midnight in Paris. Dalam film tersebut, dikisahkan Gil (Owen Wilson) mumet karena tak kunjung menyelesaikan novelnya. Saat berkunjung ke Paris, ia mengalami delusi dan bertemu para pemikir era 20-an. Mulai dari Mark Twain, Salvador Dali, hingga Scott dan Zelda Fitzgerald. Pengalaman itu jadi yang terbaik bagi Gil. 

Bagi saya ini adalah metafor yang tepat, mungkin, sebagai orang yang pernah jadi pecandu toxic positivity. Bayangkan saja bertemu dengan “orang-orang sukses” yang kata-katanya sering muncul dalam unggahan kutipan penyemangat. Tapi seperti Gil, saya harus kembali ke kehidupan nyata, menelan pil pahit kehidupan dan menghadapinya. 

Dark comedy ala Allen cocok jadi penawar racun toxic positivity buat saya. Tapi mungkin tidak untuk orang lain. Ada resep lain yang ditawarkan seorang psikolog Austria yang juga penyintas holocaust, Viktor Frankl. Pada tahun 1985 ia mendefinisikan konsep yang ia sebut sebagai tragic optimism

Tragic optimism atau optimisme tragis adalah pendekatan pola pikir lain yang menawarkan pembingkaian lebih realistis. 

Sebuah artikel yang ditulis Allie Volpie di situs BBC, membahas dengan lengkap soal ini. Ia menulis bahwa 'optimisme tragis' berpendapat bahwa ada harapan dan makna yang dapat ditemukan dalam hidup sambil mengakui adanya kehilangan, rasa sakit dan penderitaan. Para pendukung optimisme tragis mempertahankan bahwa ada ruang untuk mengalami baik dan buruk, dan bahwa kita dapat tumbuh dari masing-masing.

Emily Esfahani Smith, dikutip dari BBC, menyebutkan bahwa tragic optimism menawarkan perspektif tentang kesulitan yang membantu orang mengatasi krisis dengan lebih tangguh dan tumbuh sebagai hasilnya. “Ini [cara] mengakui kesulitan dan rasa sakit, serta penderitaan dari hal yang sedang terjadi, dan pada saat yang sama, kemampuan untuk mempertahankan harapan,” katanya.

“Penderitaan adalah bagian dari hidup, dan pertanyaannya adalah bagaimana Anda akan menghadapinya?” lanjut Esfahani. “Banyak orang akan menyangkal atau mengabaikan penderitaan mereka, dan banyak orang lain akan benar-benar kewalahan karenanya.” 

Menyembunyikan perasaan mungkin cara yang dipilih orang dewasa untuk tampak dewasa. Namun, jujur terhadap diri sendiri soal perasaan yang dialami, entah senang atau sedih jauh lebih penting. 

Pada akhirnya ide tentang penawar toxic positivity ini mengingatkan saya pada kalimat yang selalu diucapkan oleh ibu saya, “kalau hatimu sakit, kamu boleh menangis sepuasnya.”

Baca juga: Terjebak Quarter Life Crisis? Ini 5 Buku yang Wajib Kamu Baca

VOGUE | HEALTH | BBC

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."