Pelecehan Seksual Online Merajalela Selama Corona, Ini Modusnya

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Rini Kustiani

google-image
ilustrasi pelecehan seksual (pixabay.com)

ilustrasi pelecehan seksual (pixabay.com)

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Lebih dari satu bulan masyarakat menjalani karantina karena wabah corona. Kebijakan bekerja dari rumah dan belajar di rumah ini dilakukan untuk mencegah penularan virus corona.

Selama masyarakat beraktivitas dari rumah, rupanya sejumlah orang mencari kesempatan dalam kesempitan dengan menyebarkan konten pornografi secara daring. Ini cukup mengganggu keamanan dan kenyamanan orang-orang yang menjadi korban.

Lembaga Bantuan Hukum Apik menerima setidaknya 30 laporan kasus kekerasan gender berbasis online, termasuk pelecehan seksual selama sebulan terakhir. Jumlah tersebut, menurut laporan LBH Apik yang dirilis pada Selasa, 21 April 2020 lalu bertepatan dengan Hari Kartini, merupakan angka tertinggi kedua setelah kekerasan dalam rumah tangga dengan 33 kasus. Sementara itu, jumlah kasus kekerasan lainnya di bawah itu.

Koordinator Pelayanan Hukum LBH Apik, Uli Pangaribuan menjelaskan, selama pemberlakuan kebijakan karantina serta penjarakan sosial ataupun fisik, kebergantungan orang pada Internet cukup tinggi. Tidak hanya untuk berkomunikasi, tapi juga untuk belajar dan bekerja. Namun ada saja orang yang menggunakan Internet untuk melakukan pelecehan secara daring.

Bentuknya macam-macam. Umumnya pelaku mengirim foto, video, atau konten pornografi, sehingga korban menjadi jengah, malu, bahkan ketakutan, serta tidak nyaman. "Ada yang diajak ngobrol lalu disuruh buka baju. Ada yang mengirim foto atau video intim mereka disertai ancaman," ujar Uli. Bahkan ada pula ancaman penyebaran konten intim dengan motif pemerasan. "Kebanyakan pelakunya dari orang yang dikenal korban, misalnya pacar, mantan, atau punya relasi dengan korban."

Komisi Nasional Perempuan juga mendapat laporan angka kekerasan gender berbasis online selama masa pandemi ini paling tinggi. Mereka menerima tiga hingga lima laporan per hari, tapi data pastinya masih diakumulasi. "Selama pandemi, ini yang sering kami terima,” ujar Siti Aminah, Komisioner Komnas Perempuan, dalam webinar Fenomena KDRT terhadap Perempuan Selama Covid-19.

Menurut dia, ada tiga hal yang terjadi dalam kekerasan gender berbasis online ini. Misalnya, pelaku melakukan texting, yakni mengirim konten asusila melalui aplikasi WhatsApp, hingga balas dendam pornografi oleh mereka yang mempunyai relasi personal dengan korban, seperti pacar, pasangan, atau mantan pasangan. Ada pula kasus penipuan dengan meminta sejumlah uang untuk ditransfer. "Pelaku kemudian melakukan ancaman untuk menyebarkan foto, video, atau mungkin kabur setelah menerima transferan," ujar Aminah.

Purple Code, lembaga yang bergerak di bidang kesetaraan gender, hak asasi manusia, dan isu kesetaraan pada teknologi, juga menerima pengaduan serupa. "Dalam sehari setidaknya dua orang melapor dan meminta pendampingan," ujar Dhyta Caturani, aktivis Purple Code. Mereka juga mendapat rujukan dari organisasi lain dan laporan korban melalui akun media sosial.

Dhyta menjelaskan, pelaku adalah orang yang dikenal (pacar atau mantan pasangan) meskipun ada yang tidak mengenal korban. Biasanya itu terjadi karena foto atau video sudah tersebar sehingga pelaku menjadi banyak. Ada pula pelaku yang baru dikenal oleh korban melalui aplikasi kencan.

Lembaga lain, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi DKI Jakarta, juga menerima pengaduan itu. “Kebanyakan yang mengadu adalah para remaja yang diajak kenalan, pacaran, dan mengalami kekerasan. Ini juga banyak dilaporkan selama pandemi,” ujar Hapsarini Nelma, psikolog P2TP2A DKI Jakarta.

Nenden S. Arum dari Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) menjelaskan, maraknya kekerasan seksual secara daring selama karantina pandemi terjadi karena orang lebih banyak beraktivitas di dunia maya, sehingga lebih banyak celah. Selain itu, frekuensi komunikasi online juga meningkat dan pelecehan banyak terjadi di platform daring.

Lembaga-lembaga itu berusaha memberikan pendampingan dan advokasi kepada korban. SAFEnet, misalnya, membantu memetakan risiko dan memberikan informasi alternatif yang bisa dilakukan korban. Misalnya, kalau mau membawa kasus ini ke ranah hukum, kami bantu menyiapkan bukti-bukti dan sebagainya. "Kami juga memetakan apa saja yang bisa dilakukan korban untuk melindungi diri, misalnya dengan mengamankan akun media sosial," ucap Nenden.

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."