5 Sebab Tragedi Susur Sungai SMPN 1 Turi, Ada Faktor Busana

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Silvy Riana Putri

google-image
Sungai Sempor, Donokerto Turi Sleman tempat tragedi susur sungai yang menewaskan sejumlah siswa SMPN 1 Turi pada Jumat sore, 21 Februari 2020. Tempo/Pribadi Wicaksono

Sungai Sempor, Donokerto Turi Sleman tempat tragedi susur sungai yang menewaskan sejumlah siswa SMPN 1 Turi pada Jumat sore, 21 Februari 2020. Tempo/Pribadi Wicaksono

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Musibah dialami oleh 249 siswa SMPN 1 Turi, Sleman, Yogyakarta. Pada Jumat sore, 21 Februari 2020, mereka melakukan susur sungai di Sungai Sempor sebagai salah satu kegiatan pramuka. Sayang, mereka justru terseret arus sungai, akibatnya, 23 siswa luka-luka dan 9 lainnya meninggal dunia.

Tim Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan (Kemendikbud) mencatat sedikitnya ada lima faktor utama penyebab musibah susur sungai yang dialami para siswa SMPN 1 Turi Sleman. Temuan seluruhnya dirangkum Kemendikbud dalam makalah bertajuk Musibah Susur Sungai Sempor SMPN 1 Turi. 

Narahubung perwakilan UPT Kemendikbud DIY Daswatia Astuty menuturkan faktor-faktor penyebab insiden yang menewaskan 10 siswi itu, pertama faktor cuaca dan kedua kondisi sungai tempat kegiatan.

Untuk faktor ketiga, Kemendikbud menemukan kurangnya alat bantu dan alat keamanan pendukung kegiatan.

Daswatia Astuty mengatakan, saat kegiatan itu, siswa SMPN 1 Turi hanya menggunakan alat bantu tongkat dan tidak menggunakan tali yang memadai.

Kepala Sekolah SMPN 1 Turi, Sleman Tutik Nurdiana memberi penjelasan ihwal musibah kegiatan pramuka susur Sungai Sempor yang dilakukan para siswanya dan berujung bencana Jumat sore, 21 Februari 2020. TEMPO/Pribadi Wicaksono

"Pakaian yang dikenakan pakaian seragam Pramuka harian, bukan pakaian lapangan. Banyak siswa putri yang menggunakan rok," kata ia.

Kepala Kantor Basarnas DIY Lalu Wahyu Effendi kepada media mengatakan, rok dapat menghalangi (gerak) air, berbeda dengan celana yang memungkinkan air bisa langsung melewati.

Nita Azhar, desainer yang mengaku merancang seragam Pramuka pada 2012, mengatakan bahwa ia membuat pilihan lengkap seragam Pramuka untuk putri. Selain seragam Pramuka harian berupa rok, ia juga membuat seragam khusus yang harus dikenakan untuk kegiatan lapangan.

"Waktu itu kami memang membuat desain untuk seragam harian dan seragam khusus, pakai celana panjang untuk bawahannya, yang harus dipakai ketika ada kegiatan di lapangan (lintas alam, susur sungai, dan sebagainya)," kata Nita kepada Tempo.co, Senin, 24 Februari 2020.

Menurut ia, sebagai desainer, saat membuat rancangan busana termasuk seragam Pramuka, tentu dengan terlebih dahulu mempelajari dan memikirkan kemungkinan penggunaannya di lapangan.

"Bahwa kemudian rok pramuka untuk pelajar putri yang panjang semata kaki itu dikenakan untuk kegiatan lapangan, sudah barang tentu akan membuat pemakainya tidak leluasa dalam beraktivitas," ujar Nita yang mengerjakan desain ini selama tiga bulan.

Itulah sebabnya, kata Nita, busana atau seragam harus disiapkan secara tepat untuk dikenakan pada situasi dan kondisi yang sesuai.

Di luar pilihan busana, faktor keempat adalah kurangnya pembina pendamping dan kelima tidak adanya koordinasi yang baik. Kegiatan susur sungai sebagai agenda kegiatan utama hari itu tidak sepengetahuan kepala sekolah.

"Susur sungai juga tidak melapor/minta izin ke pengelola lokasi untuk mendapatkan arahan dan pendampingan," imbuh Daswatia Astuty.

Kemendikbud memberi catatan bahwa lokasi susur sungai tersebut adalah lokasi desa wisata yang biasa digunakan untuk outbond.

"Untuk kegiatan outbond di sungai tersebut yang biasa dilakukan adalah susur sungai dan arung jeram," ungkap ia.

PRIBADI WICAKSONO | MILA NOVITA | SARAH ERVINA DARA SIYAHAILATUA

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."