Minat Anak Muda Rendah, Regenerasi Penenun Mandek

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Yayuk Widiyarti

google-image
Ilustrasi kain tenun Lombok. Shutterstock

Ilustrasi kain tenun Lombok. Shutterstock

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Pelestarian kain tenun di Indonesia memang tak lepas dari faktor regenerasi penenun dari masa ke masa. Rendahnya minat generasi penerus salah satu penyebab, namun bukanlah satu-satunya. Diperlukan penanganan dari hulu ke hilir agar langkah regenerasi penenun bisa besar perubahannya. 

“Salah satu langkah pemerintah untuk regenerasi penenun adalah menjadikan tenun sebagai muatan lokal di SMK. Akan tetapi, kita masih banyak melihat anak muda yang menganggap menenun bukan sumber penghasilan menjanjikan. Prosesnya dirasa sulit, butuh kesabaran tingkat tinggi, dan tidak bisa menenun sambil main telepon pintar.

Itulah beberapa faktor yang mendorong mereka memilih karir sebagai guru, penjaga toko, ataupun aparatur sipil negara. Namun itu baru satu faktor, masih ada pemicu lainnya sebagai pekerjaan rumah kita bersama,” kata Dollaris Riauaty Suhadi atau akrab disapa Waty, Direktur Eksekutif Sahabat Cipta.

Baca juga:
Tenun Ikat Sikka yang Pertama Dilindungi Kekayaan Intelektual

Kemudian, Waty menuturkan satu kain tenun yang dibuat selama tiga bulan dan dijual sekitar Rp 1,5 juta – Rp 2,5 juta kerap terbentur rendahnya daya beli dibandingkan kain tenun jenis cetak yang harganya ratusan ribu.

“Arus supply and demand yang lancar juga berperan dalam menciptakan regenerasi penenun. Bila masyarakat hanya menyukai tenun berharga murah, perlahan-lahan namun pasti para penenun tua itu akan kehilangan sumber mata pencarian. Mereka beserta anak-anaknya akan fokus bertani untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,” ucapnya. 

Waty juga memperhatikan kurangnya budaya mencatat dan membaca selera pasar. Menurutnya, banyak penenun tua yang tidak mencatat saat membuat pewarna alami. Ketika ditanyakan, para penenun hanya mengandalkan insting dan ingatan. Kondisi ini bisa berisiko hilangnya formula pewarnaan alami jika tidak ada transfer ilmu kepada kerabat atau generasi penerus.

Dia pun menambahkan, “Selain soal mencatat, pola pikir penenun juga jadi tantangan. Mengingat penenun ini bekerja by the heart, mereka kerap melupakan faktor selera pasar. Jadinya, menenun sesuai kesukaan pribadi dalam hal warna ataupun kombinasi motif.”

Ilustrasi kain tenun Lombok. Shutterstock

“Jujur saja, butuh waktu untuk mengubah polapikir tersebut. Tapi Alhamdulillah, mereka sudah mulai terbuka. Saya mengambil contoh penenunikatSikka di Nusa Tenggara Timur (NTT). Dulunya, mereka hanya berpatokanwarna-warna gelap. Kini, sudah ada ragamwarna cerah jadi lebih bervariasi. Semakin banyak peminatnya, maka meningkat pula penghasilan yang didapatkan. Itu bisa menjadi daya tarikbertambahnya generasi penerus di sana,” tambahnya.

Promosi juga faktor yang mendukung terciptanya regenerasi penenun. Tenun yang semakin dikenal turut mendorong tingginya penjualan dan bukti menenun adalah profesi dengan mata pencarian menjanjikan. 

“Saya mengambil contoh tenun ikat Sikka dari NTT memang belum sepopuler tenun dari Sumba, Manggarai, ataupun Ende. Oleh karena itu, acara Tenun Ikat Sikka Auction & Marketplace 2019 pada 15-17 Febuari 2019 di Atlet Century Park Hotel Jakarta, kami bersama Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) memboyong 10 penenun Sikka untuk memperkenalkan secara luas dan mendalam,” ujar Waty.

“Bukan itu saja, kami menggandeng delapan desainer yang memproduksi aneka item fashion dari tenun ikat Sikka, mulai dari jaket, pelindung laptop dan telepon pintar, serta aksesori hingga pelindung mug,” tandas Waty selaku ketua penyelenggara acara.

Baca juga:

Kain Tenun Endek, Si Cantik dari Bali

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."