Peneliti Ungkap Kaitan antara Obesitas dan Depresi

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Yayuk Widiyarti

google-image
Ilustrasi obesitas. Shutterstock

Ilustrasi obesitas. Shutterstock

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Obesitas dan depresi ternyata saling berkaitan. Benarkah stigma tentang obesitas yang menyebabkan depresi, ataukah depresi yang menyebabkan perilaku makan tanpa terkendali hingga menyebabkan obesitas?

Penelitian yang dilakukan oleh Universitas Australia Selatan dan Universitas Exeter di Inggris terhadap 48 ribu orang yang mengalami depresi menemukan bukti kuat bahwa obesitas memang benar dapat menimbulkan depresi, bahkan pada orang yang tidak mengalami masalah kesehatan, terutama pada wanita. Namun, para ahli menyebutkan hubungan antara obesitas dan depresi bukanlah sebab akibat, tapi lebih kepada korelasi.

Baca juga:
Obesitas juga Bisa Dipicu dari Faktor Keturunan
7 Tanda Memasuki Fase Obesitas, Sudah Waktunya Diet

“Mekanismenya mungkin bekerja melalui otak. Kita tahu bahwa patofisiologi (ilmu yang mempelajari gangguan fungsi organ yang meliputi asal penyakit, sebab, dan akibatnya) depresi dan obesitas melibatkan metabolisme otak,” Laura Holsen, asisten profesor psikiatri di Sekolah Kedokteran Harvard, Amerika Serikat, menjelaskan.

Dokter Jordan Smoller, profesor psikiatri di Sekolah Kedokteran Harvard yang juga pakar dasar-dasar genetik penyakit mental memberikan penjelasan ilmiah lain. Menurutnya, senyawa kimia otak yang mempengaruhi suasana hati dan berat badan seringkali bertumpang tindih.

Artikel lain:
Anak Makan Sambil Main Gawai dan Nonton TV, Awas Obesitas

“Hormon-hormon yang mempengaruhi metabolisme tubuh dan depresi mungkin berperan di dalamnya. Hormon-hormon ini, termasuk kortisol atau yang disebut sebagai hormon stres dan leptin yang meregulasi penyimpanan lemak tubuh. Mereka mungkin melakukan pekerjaan ganda,” jelas Smoller.

Hal lain yang berkaitan dengan depresi dan obesitas adalah peradangan. “Ada bukti bahwa obesitas dan diet tinggi lemak sangat berkaitan dengan aktivasi jalur peradangan di otak yang relevan dengan depresi. Bagian otak yang mengatur nafsu makan bertumpang tindih dengan bagian otak yang mengatur suasana hati,” tandas Jordan Smoller.

AURA

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."