Difteri, Ada Sanksi Antivaksin karena Lalaikan Kesehatan Anak

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Rini Kustiani

google-image
Pekerja menunjukan vaksin yang mengandung komponen difteri sebelum didistribusikan, di Bandung, 18 Desember 2017. Bio Farma menambah stok kebutuhan vaksin yang mengandung komponen difteri seperti vaksin DT, Td, dan DTP-HB-Hib untuk memutus penularan. ANTARA

Pekerja menunjukan vaksin yang mengandung komponen difteri sebelum didistribusikan, di Bandung, 18 Desember 2017. Bio Farma menambah stok kebutuhan vaksin yang mengandung komponen difteri seperti vaksin DT, Td, dan DTP-HB-Hib untuk memutus penularan. ANTARA

IKLAN

TEMPO.CO, Jakarta - Munculnya penyakit difteri pada akhir 2017 cukup mengejutkan. Sebab, pada 1990-an tak ada kasus difteri. Namun setelah itu, penyakit ini muncul lagi dan menjadi perhatian banyak orang hingga kini.

Baca juga:
Difteri Rentan pada Anak, Ketahui Cara Penularan dan Mencegahnya

Pemerintah menduga kasus difteri meningkat karena sebagian masyarakat ada yang antipati terhadap pemberian vaksin. Mereka berdalih vaksin yang diberikan pemerintah tak aman, memiliki efek samping, dan kekhawatiran lainnya.

Sekretaris Satuan Tugas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Soedjatmiko mengatakan difteri adalah penyakit menular yang endemis, dan dapat dicegah dengan imunisasi. Dia menyayangkan banyak yang menyebarkan berita palsu alias atau hoax mengenai antivaksin yang justru menyebarkan difteri.

Soedjatmiko mengimbau agar orang tua sadar pentingnya imunisasi pada anak. Jika ada yang sengaja tidak melakukannya dengan berbagai alasan, menurut dia, sama saja dengan melalaikan kesehatan anak. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak memuat ketentuan tentang melalaikan anak.

Pasal 45 ayat 1 Undang-undang Perlindungan Anak menyebutkan orang tua dan keluarga bertanggung jawab menjaga kesehatan anak dan merawat anak sejak dalam kandungan. Adapun Pasal 77 di aturan yang sama menyebutkan setiap orang yang sengaja menelantarkan anak sehingga mengakibatkan sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial, bisa dijerat dipidana dengan hukuman paling lama 5 tahun penjara dan denda paling tinggi Rp 100 juta.

"Sekarang tindakan hukum dihentikan dulu karena kasihan. Namun bisa dibawa kembali ke jalur hukum jika terkait penyebaran berita palsu, dan ini bisa masuk ranah cyber crime," kata Soedjatmiko di Jakarta, Jumat, 12 Januari 2018. Dia menjelaskan, dokter tak bisa memberikan sanksi karena kewenangan tersebut ada di Kementerian Kesehatan dan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk cyber crime.

Deputi II Kepala Staf Kepresidenan, Yanuar Nugroho mengatakan penyebaran informasi yang salah tentang vaksinasi bisa fatal karena merugikan diri sendiri dan orang lain. "Karena itu tim advokasi menjadi penting supaya masyarakat tahu manfaat vaksinasi," katanya. Tim advokasi tersebut sekaligus mengedukasi masyarakat dan kontraproduktif untuk mempidanakan orang.

Direktur Utama PT Bio Farma, Juliman memastikan vaksin difteri buatan PT Bio Farma aman dipakai. Produk vaksin ini juga sudah lulu uji Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), mendapatkan pengakuan dari World Health Organization (WHO), dan digunakan di 136 negara. "Kalau vaksin ini berbahaya, tidak mungkin 136 negara mau pakai,” katanya.

Menteri Kesehatan, Nila Moelek menduga keraguan masyarakat terhadap vaksin ini karena diberikan secara cuma-cuma alias gtaris. "Banyak yang menyangka karena gratis, kualitasnya belum tentu bagus. Padahal tidak benar," ucapnya seraya menambahkan sebagian besar negara yang menggunakan vaksin ini adalah negara muslim. Dia mengimbau yang belum divaksin segera melakukan vaksinasi karena bakteri difteri dapat menyebarkan racun yang menyerang jantung.

ASTARI PINASTHIKA SAROSA

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."