6 Fakta Menarik Raden Ajeng Kartini, Anak Kelima hingga Dijuluki Trinil

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Silvy Riana Putri

google-image
Potret Raden Ajeng Kartini. wikipedia.org

Potret Raden Ajeng Kartini. wikipedia.org

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Tanggal lahir Raden Ajeng Kartini pada 21 April 1879 diperingati setiap tahunnya sebagai Hari Kartini. Ini merupakan wujud penghargaan salah satu pejuang kesetaraan wanita dengan pria dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari berpendapat, pendidikan, hingga kesempatan berkarya. Untuk menyegarkan ingatan kita bersama tentang sosok dia, berikut fakta menarik perempuan yang dikenal dengan nama Kartini.

1. Berasal dari Keluarga Priyayi

Kartini berasal dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa. Dia merupakan putri dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, seorang patih yang diangkat menjadi bupati Jepara segera setelah Kartini lahir.

Kartini adalah putri dari istri pertama, tapi bukan istri utama. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kiai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Dari sisi ayahnya, silsilah Kartini dapat dilacak hingga Hamengku Buwana VI.

Ayah Kartini pada mulanya seorang wedana di Mayong. Peraturan kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristrikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkawinan itu, ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo

2. Anak Kelima

Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan sambung. Dari semua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun dan dikenal pada pertengahan abad ke-19 sebagai salah satu bupati pertama yang memberi pendidikan Barat kepada anak-anaknya.

3. Pernah Sakit Parah

Kartini kecil pernah mengalami sakit parah saat berusia tujuh tahun. Tubuhnya menggigil hebat. Demamnya tak kunjung reda. Ayahnya berusaha mendatangkan dokter dari mana saja, namun tak kunjung berhasil.

Kemudian datanglah seorang Cina yang sedang dihukum pemerintah Hindia Belanda bertamu ke rumahnya. Laki-laki Cina itu sudah dikenal oleh tiga anak Sosroningrat. Dia menawarkan bantuan dengan meminta Kartini meminum air yang dicampur abu lidi shio dari sebuah kelenteng di Welahan, sebuah kecamatan di Jepara, Jawa Tengah, tempat terdapat banyak rumah ibadah umat Konghucu.

Ajaib. Setelah mengikuti saran itu, demam Kartini turun dan sembuh. Dia kemudian menuliskan cerita itu dalam surat untuk Nyonya Rosa Abendanon-Mandri, istri Direktur Pendidikan, Agama, dan Industri Hindia Belanda.

Dalam surat tertanggal 27 Oktober 1902, Kartini berapi-api menceritakan pengalaman itu. "Apa yang tak berhasil dengan obat-obatan kaum terpelajar ternyata berhasil dengan obat tukang jamu," tulisnya. Surat 18 halaman menceritakan perbedaan dunia Jawa dan Belanda.

Bila dalam surat-surat sebelumnya untuk ibu angkatnya itu Kartini selalu memuji Eropa sebagai 'sumber rasionalitas dan ilmu pengetahuan', dalam surat itu dia menjelaskan bagaimana orang Jawa percaya klenik. Setahun sebelum menulis surat itu, Kartini berkunjung ke Welahan, kecamatan tempat banyak rumah ibadah umat Konghucu tadi.

"Bagaimanapun, saya mesti belajar kenal dengan 'bapak' saya yang besar itu," ujarnya membahas tentang Santik-kong, arwah leluhur orang Welahan yang disucikan di kelenteng tersebut. Di sana, Kartini menyaksikan upacara memperingati ulang tahun arwah.

Santik-kong terkenal sebagai dewa penyembuh. Setiap ada wabah yang berjangkit, patungnya diarak berkeliling desa agar asap dupanya menyebar menangkal virus. Dan desa itu biasanya terhindar dari kuman. Kartini mencoba memberikan pemahaman yang logis kepada Abendanon, yang tak percaya kepada takhayul.

4. Dijuluki Trinil

Sehari-hari Kartini sangat lincah, gesit, dan pandai. Kartini kecil suka bermain di kebun, meloncat-loncat, berlari-lari, dan mudah bergaul. Kebiasaan ini juga digambarkan Kartini dalam sebuah surat.

"Saya dinamakan kuda kore, kuda liar, karena saya jarang berjalan, tetapi selalu meloncat-loncat dan berlari," kata Kartini dalam suratnya kepada Estelle "Stella" Zeehandelaar, 18 Agustus 1899. "Bagaimana saya dimaki-maki karena terlalu sering tertawa terbahak-bahak yang dikatakan tidak pantas, oleh sebab memperlihatkan gigi saya."

Tidak aneh, ayah dan kakak-kakaknya menjuluki Kartini dengan sebutan "Trinil" atau burung kecil yang lincah dan cerewet. Namun ibunya, Ngasirah, tidak suka dengan julukan "Trinil" atau "Nil". Ngasirah suka marah kepada adik-adik Kartini bila mereka ikut-ikutan memanggilnya "Nil" karena tidak sopan.

5. Bisa Berbahasa Belanda

Sampai usia 12 tahun, Kartini dibolehkan bersekolah di Europese Lagere School (ELS). Di sana, Kartini belajar bahasa Belanda. Namun setelah usia 12 tahun, dia harus tinggal di rumah karena perempuan pada masa itu mesti dipingit setelah mengalami menstruasi pertama.

Lantaran Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah dia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda, salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi karena dia melihat perempuan pribumi berada pada status sosial rendah.

6. Wafat di Usia Muda

Kartini diketahui meninggal di Rembang, Jawa Tengah, 17 September 1904. Empat hari setelah melahirkan anak pertamanya. Saat itu, dia berusia 25 tahun.

Pilihan Editor: Misteri Kematian Kartini dan Desas-desus yang Tak Pernah Terbukti

MAJALAH TEMPO | RINI KUSTIANI | ECKA PRAMITA

Halo Sahabat Cantika, Yuk Update Informasi dan Inspirasi Perempuan di Telegram Cantika

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."