Pameran Kedai Kita, Angkat Isu Pangan Terancam Punah karena Krisis Iklim

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Silvy Riana Putri

google-image
Pameran Sejauh Mata Memandang dan Greenpeace Indonesia

Pameran Sejauh Mata Memandang dan Greenpeace Indonesia "Kedai Kita" di Plaza Indonesia. Foto: Istimewa

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Dalam pameran Kedai Kita, jenama mode lokal ramah lingkungan Sejauh Mata Memandang (SMM) berbagi panggung dengan Greenpeace Indonesia. Pameran ke-16 bagi Sejauh Mata Memandang ini mengangkat isu krisis iklim terhadap pangan kita. Dan, bagi Greenpeace Indonesia kolaborasi dengan Sejauh Mata Memandang lewat Kedai Kita merupakan rangkaian dari kegiatan Berhenti Basa Basi Buat Bumi untuk mendorong Pemerintah agar mengambil tindakan nyata terkait krisis iklim.

"Sejauh Mata Memandang melihat pentingnya berkolaborasi dengan berbagai pihak dalam berkontribusi menyelesaikan krisis iklim,"  kata Chitra Subyakto, Pendiri dan Direktur Kreatif Sejauh Mata Memandang dalam konferensi pers di Plaza Indonesia, Jakarta, Jumat, 1 Desember 2023.

"Kali ini kami berkolaborasi dengan Greenpeace Indonesia dan didukung oleh Plaza Indonesia dalam menghadirkan sebuah karya seni dan edukasi “Kedai Kita” agar semakin banyak pihak yang terlibat, maka akan semakin terdengar suara kita dan timbul kesadaran kolektif serta aksi nyata dalam menyelamatkan bumi,” tegasnya.

Senada dengan Chitra, Adila Isfandiari, Climate and Energy Campaigner Greenpeace Indonesia mengatakan melalui Kedai Kita, mereka ingin mengajak publik untuk memahami masalah krisis iklim yang dampaknya sudah sampai di meja makan kita.

"Sesuai dengan judulnya, kami juga ingin mengajak publik untuk bersuara dan beraksi untuk iklim serta mendesak pemerintah untuk berhenti basa-basi mengobral janji dan solusi palsu, dan segera lakukan aksi iklim yang nyata," ucapnya.

Melalui Kedai Kita, Sejauh Mata Memandang dan Greenpeace Indonesia berharap dapat menghadirkan berbagai wadah untuk menggugah kesadaran masyarakat akan krisis iklim. Selain itu, pameran ini juga bertujuan untuk terus memotivasi adanya langkah-langkah nyata dari masyarakat untuk melibatkan diri dalam perubahan positif.

Tiga Area di Pameran Kedai Kita

Pameran yang berlokasi di lantai basement Plaza Indonesia itu terbagi menjadi tiga area utama, yaitu Kopi Tinggal Kenangan, Warung Nasib Kita di Masa Depan (WarNas), dan Warung Sejauh Mata Memandang.

Di area kopi, disuguhkan sejumlah data yang menunjukkan penurunan kualitas maupun kuantitas biji kopi telah dialami oleh petani kopi di berbagai wilayah akibat cuaca ekstrem. Melalui WarNas, pengunjung dapat berjamu dan melihat berbagai informasi tentang bahan makanan yang terancam punah serta membaca cerita dari para petani yang terdampak.

Dan, di Warung Sejauh Mata Memandang, kita dapat melihat dan berbelanja berbagai koleksi pakaian hingga pernak-pernik unik hasil dari kreasi daur naik (upcycle) kain-kain perca motif khas SMM. Khusus untuk Warung Sejauh Mata Memandang akan beroperasi hingga tanggal 11 Januari 2024.

Pameran yang dirancang Felix Tjahyadi ini menggunakan 90 persen material guna ulang (reuse) seperti panel kayu bangunan dari kegiatan SMM sebelumnya serta kain perca dari sisa produksi SMM yang upcycle, memberikan sentuhan rancangan yang lebih bertanggung jawab terhadap lingkungan.

(kedua dari kiri) Chitra Subyakto - Pendiri dan Direktur Kreatif Sejauh Mata Memandang dan Adila Isfandiari - Climate and Energy Campaigner Greenpeace Indonesia. dalam konferensi pers mini pameran "Kedai Kita" di Plaza Indonesia. Foto: Istimewa

Gagal Panen hingga Gagal Tanam karena Krisis Iklim, Pangan Terancam Punah

Mungkin banyak di antara kita yang belum menyadari bahwa kopi, beras, ikan bandeng, pisang kepok, garam, cengkeh hingga pala terancam punah 10 tahun mendatang. Mengapa demikian? Mari kita telusuri bersama-sama.

Berdasarkan perjalanan Greenpeace Indonesia dan Iklimku ke beberapa wilayah Indonesia beberapa waktu lalu, mereka menemukan krisis iklim berdampak pada hasil petani maupun petambak.

"Kami banyak berdiskusi dengan petani. Mereka mengeluhkan bahwa perubahan musim yang tiba-tiba, tidak terprediksi, kekeringan, curah hujan yang besar, belum lagi kejadian ekstrem lainnya yang menjadi bagian krisis iklim mempengaruhi aktivitas mereka. Tak cuma gagal panen, juga gagal tanam," ujar Adila Isfandiari.

Menurut Dila, biasa dia disapa, kondisi tersebut juga membuat banyak petani tak bisa menentukan masa tanamnya. Tentu bisa kita bayangkan dampaknya kepada suplai pangan di masa mendatang.

Kemudian Dila memaparkan kondisi petani beras di Gunung Kidul yang sangat bergantung dengan air hujan. Walhasil, mereka belum bisa menanam padi hingga Oktober silam karena hujan tak kunjung turun.

Kondisi kekeringan pun berdampak pada hasil para petani sayur dan cabai di Malino, Sulawesi Selatan. Mereka mengalami gagal panen.

Beralih ke Pulau Maluku, cengkeh dan pala tidak lagi berbuah, menurut Dila.

"Di Maluku, rempah seperti cengkeh dan pala, sekarang tidak lagi berbuah karena krisis iklim, terlalu kering ataupun pas La Nina (fase dingin dari dari El Nino) terlalu basah," ucapnya.

Kondisi ini juga berefek pada tradisi lokal yang terancam punah. "Biasanya masyarakat Maluku menabung cengkeh dan pala, ketika ada hajatan atau ada keperluan mendesak, mereka menjual itu untuk mendapatkan penghasilan. Sekarang tidak bisa lagi karena cengkeh dan pala tidak berbuah, apa yang bisa disimpan untuk tabungan," jelasnya.

Pameran Sejauh Mata Memandang dan Greenpeace Indonesia "Kedai Kita" di Plaza Indonesia. Foto: Istimewa

Tak berhenti di situ saja fakta dampak krisis iklim terhadap pangan, contoh lainnya para petambak garam di Kusamba, Bali sudah kehilangan lahannya.

"Krisis iklim juga merenggut lahan di pesisir. Petani tambak garam di Kusamba, Bali, itu sudah berabad-abad, tradisi turun-temurun. Tapi sekarang lahan mereka sudah habis karena kenaikan muka air laut," jelasnya.

Hal itu juga dialami oleh petambak di Gresik, mereka tidak bisa lagi menghasilkan ikan bandeng.

"(dulu) Mereka punya ikan bandeng biasanya berukuran besar mencapai 7-8 kg, tapi kini ikan bandeng itu hilang karena kenaikan muka air laut. Tahun lalu, tambak seluas sekitar 800 hektare hilang karena krisis iklim dan banjir pasang. Tambaknya sudah sama dengan air laut," tuturnya.

Bagi pecinta kopi, berikan perhatian sejenak pada fakta berikut. Kopi Arabica di Banjarnegara sudah menurun kualitasnya, dan jika cara menanggulangi krisis iklim tak dilakukan bersama-sama, Anda hanya bisa menikmati kopi Arabica berkualitas baik selama 10 tahun ke depan. 

"Karena curah hujan di Banjarnegara sangat tingggi dua tahun ke belakang. Dan, ternyata biji atau ceri kopi kemasukan air sangat banyak sehingga kopi Arabica kehilangan rasa manis
dan rasa asamnya menurun," kata Dila.

Para petani juga mengeluhkan pelanggannya pergi satu per satu karena kualitas kopi yang dihasilkan tidak seperti dulu. Padahal faktanya, mereka menggunakan cara menanam yang sama, pupuk organik, air yang sama. Sayangnya, biji kopi mereka mengandung banyak air akibat anomali cuaca.

Melihat kondisi tersebut, Greenpeace Indonesia dan Lady Farmer Coffee memberikan solar dryer, mesin pengering kopi bertenaga surya atau matahari.

"Jadi para petani bisa mengeringkan kopi, tetapi tidak menyumbang emisi gas rumah kaca.
itu sangat membantu," tuturnya.

Melihat fakta-fakta meresahkan di atas, kita bisa berbuat dari lingkungan terkecil, yaitu rumah. Caranya dengan mulai menerapkan menerapkan hidup ramah lingkungan, mengonsumsi pangan lokal, tidak membuang makan alias zero waste, dan lebih hemat energi.

Nah, fakta-fakta yang dibeberkan di atas 'dibungkus' dalam balutan seni yang menarik di pameran Kedai Kita. Tak cuma menjadi latar foto warna-warni cerah yang sedap dipandang mata, tapi juga membuat kita semakin menyadari betapa besarnya dampak iklim terhadap sendi kehidupan, termasuk pangan. Oiya, pameran Kedai Kita berlangsung dari tanggal 1 hingga 10 Desember 2023.

Selain pameran Kedai Kita, kolaborasi Sejauh Mata Memandang dan Greenpeace Indonesia juga turut menghadirkan rangkaian kegiatan berjudul Berhenti Basa Basi Buat Bumi. Rangkaian kegiatan yang akan diselenggarakan di KALA di Kalijaga, Blok M, Jakarta Selatan ini mulai tanggal 6 hingga 10 Desember mendatang. Selain menghadirkan pameran foto dampak krisis iklim terhadap pangan, ada pula experience room dan berbagai aktivitas menarik lainnya. Kegiatan ini dapat diikuti secara gratis dengan cara mendaftar di act.gp/ikutan-b5.

Pilihan Editor: Sejauh Mata Memandang Gelar Pameran di Artjog 2022, Sadar Krisis Iklim

Halo Sahabat Cantika, Yuk Update Informasi dan Inspirasi Perempuan di Telegram Cantika

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."