46 Persen Milenial Percaya Diri dengan Pengelolaan Keuangannya, Padahal...

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Mitra Tarigan

google-image
Ilustrasi perencanaan keuangan (pixabay.com)

Ilustrasi perencanaan keuangan (pixabay.com)

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Mengelola keuangan masih menjadi momok bagi sebagian milenial. Director Customized Intelligence NielsenIQ Indonesia Inggit Primadevi menjelaskan beberapa data yang telah dihimpun soal keuangan usia 25-35 tahun dalam OCBC NISP Financial Fitness Index. Data itu tidak hanya sekadar memaparkan hasil riset kesehatan keuangan namun menjadi tolok ukur untuk mengambil langkah kongkrit meraih kondisi kesehatan finansial.

Dari data tersebut, terlihat masih ada 46 persen masyarakat yang terlalu percaya diri dengan perencanaan uang mereka. "46 persen anak muda ini kayaknya percaya diri banget. Mereka merasa sudah benar mengelola keuangan mereka. Sehingga di pikiran mereka 'masa depan pasti (keuangan mereka) baik-baik saja'," kata Inggit pada konferensi pers Financial Fitness Index pada 19 Agustus 2021.

Sayang, masyarakat model ini sebenarnya masih sering melakukan kesalahan pengelolaan keuangan. Inggit mengatakan, dalam survei, para kelompok masyarakat ini masih banyak yang belum mencatat keuangan mereka secara mumpuni. "Bahkan dari mereka hanya ada 3 persen kelompok masyarakat ini yang melakukan investasi. Dampaknya nanti bisa jadi miss-kalkulasi," kata Inggit.

Tidak hanya itu, kelompok masyarakat ini pun masih banyak yang belum menyisihkan dana darurat mereka. Padahal Inggit bilang, dana darurat itu adalah pertolongan pertama kita yang akan menolong kita di saat kita kehiangan pekerjaan atau ada keperluan mendesak lain. "Yang memiliki dana darurat saja baru 16 persen. Walau pendapatan mereka meningkat, mereka bahkan masih kesulitan sisihkan untuk tabungan masa depannya," katanya.

Salah satu indikasi para masyarakat ini merasa sudah melakukan pengelolaan keuangan yang ideal adalah karena mereka sudah menyisihkan uang mereka untuk investasi. "Padahal ternyata masih ada di antara mereka yang investasi menggunakan hutang. Beberapa meminjam uang dari orang tua atau teman mereka," kata Inggit.

Hasil riset OCBC NISP Financial Fitness Index tidak terlalu memuaskan. Data itu menunjukkan generasi muda Indonesia menjadi salah satu yang memiliki literasi keuangan yang rendah dengan rata-rata kesehatan finansial hanya mencapai 37,72. Jumlah ini jauh dibandingkan kondisi kesehatan finansial warga Singapura yang mencapai 61. Riset tersebut juga menunjukkan hanya 14,3 persen anak muda yang terlihat berusaha menuju “sehat” finansial, namun nyatanya kondisi mereka masih belum ideal. "Yang menarik, dari data itu terlihat bahwa 85,66 persen dari mereka perlu melakukan check up finansial dan mengambil langkah- langkah perbaikan," kata Direktur Bank OCBC NISP Ka Jit.

Ka Jit membenarkan berbagai layanan di bank sudah semakin baik, transaksi investasi pun sudah semakin populer. Mendukung pernyataan Inggit, menurut Ka Jit, banyak yang menganggap bahwa kondisi finansial mereka sehat. "Padahal nyatanya hanya 16 persen anak muda yang memiliki dana darurat," kata Ka Jit.

Direktur Bank OCBC NISP Ka Jit dalam konferensi pers OCBC NISP Financial Fitness Index pada 19 Agustus 2021/OCBC NISP

Ketika masyarakat memilih investasi, mereka pun belum terlalu paham kegunaannya. Masih banyak generasi muda yang malah melakukan investasi hanya karena temannya. Pemberitaan media juga menunjukkan fenomena ikutan tren investasi saham namun menggunakan uang hasil hutang, atau nekat terjun ke crypto currency menggunakan uang sekolah atau tabungan nikah. Tidak heran akhirnya beberapa di antara mereka harus mengalami putus sekolah atau batal menikah karena salah mengelola keuangan itu.

Inggit menjelaskan bahwa OCBC NISP financial fitness indeks ini menggunakan campuran metode kualitatif dan kuantitatif. Para peneliti menggunakan empat indikator utama untuk mengukur indeks tersebut.

Meliputi financial basic (landasan finansial), financial safety (keamanan finansial), financial growth (pertumbuhan finansial), dan financial freedom (merdeka finansial). Pertama financial basic. Kelompok masyarakat ini adalah orang yang sudah tahu bagaimana bisa penuhi kebutuhan pokoknya. Tidak hanya urusan sandang, pangan papan, namun juga kewajiban hutang yang harus dibayar.

Indikator kedua adalah financial safety. Kelompok masyarakat ini sudah menyediakan dana darurat untuk persiapkan keuangan mereka bila ada hal-hal yang tidak terduga terjadi.

Indikator ketiga adalah financial growth (pertumbuhan finansial). Kelompok masyarakat ini sudah menyisihkan sebagian dana mereka untuk kebutuhan jangka panjang, Mereka pun melakukan investasi. Indikator terakhir adalah financial freedom (merdeka finansial). Kelompok masyarakat golongan ini sudah memiliki pasif income.

Survei ini dilakukan kepada 1.027 responden dengan usia 25 tahun-35 tahun. Sebanyak 538 responden berasal dari Jabodetabek, 325 dari Surabaya, dan orang dari 164 Medan.

Inggit bercerita bahwa walaupun ada banyak kekurangan yang dilakukan masyarakat golongan ini dalam mengelola keuangan mereka. "Salah satunya adalah skema pajak. Anak muda sata ini mulai melek pajak. Sayang jumlahnya hanya 13 persen dari responden," kata Inggir.

Golongan muda ini juga memiliki mindset kurang tepat mengenai definisi kaya. Misalnya, sebanyak 43 persen responden menyatakan bahwa kaya itu mengacu pada kepemilikan rumah mewah, 29 persen mampu membeli bawang mewah, 21 persen memiliki mobil mewah, dan sebagainya.

“Memang ada mindset yang kurang sepenuhnya tepat mengenai kaya. Kalau di sosial media, rich people itu punya rumah mewah, mobil, tas branded, itu yang dianggap mewah. Tapi apakah banyak yang punya mindset kalau kaya itu punya saham sekian juta, misalnya atau investasi sekian, sepertinya jarang dibahas,” tuturnya. Ia menegaskan bahwa penting membuat langkah awal perencanaan keuangan.

Dari segi gender, Inggit mengatakan sebenarnya perempuan dinilai sedikit lebih baik dalam mengelola keuangan keluarga mereka. Indikator perempuan hanya kalah dalam mengelola utang yang nonjamin, juga mempersiapkan dana pensiun.

Inggit juga bercerita ada beberapa segmen yg terbentuk d generasi muda. Pertama dalam hal motivasi. Orang mengecek keuangan mereka untuk kebanggaan dan kepuasaan diri. "Jadi pride, dia puas. Dia proyeksikan diri ke masyarakat bahwa di aitu mampu secara finansial, dia punya status di lingkungannya," kata Inggit.

Motivasi kedua lakukan pengelolaan keuangan adalah agar bisa tercukupi kebutuhan dan keluarga pun senang.

Cara pandang orang dalam hal mengelola keuangan pun ada 2. Pertama mereka terlihat senang saat melihat ATM, dan merasa cukup. Kelompok ini tidak terlalu menghitung dan mengontrol keuangan mereka. Golongan kedua adalah orang-orang yang lebih mengalokasikan dana serta lebih mengontrol keuangan mereka dengan mencatatnya.

Inggit Primadevi mengingatkan pentingnya kesehatan finansial bagi generasi muda. Dengan mengecek skor finansial, maka para generasi muda bisa menjadikan skor tersebut sebagai tolak ukur untuk mengambil langkah kongkrit meraih kondisi kesehatan finansial. “Riset juga menunjukkan empat faktor utama bagaimana meningkatkan kesehatan finansial generasi muda, yakni dengan membuat alokasi anggaran, membuat pencatatan sederhana pengeluaran, konsultasi dengan financial planner dan terus belajar pengaturan keuangan,” jelas dia.

Ka Jit mengingatkan masyarakat bisa memulai dengan membuat anggaran dan mencatat pengeluaran secara disiplin. Selain itu, masyarakat bisa terus belajar baik secara online maupun langsung. Konsultasi dengan financial planner juga menjadi langkah yang tidak kalah penting. “Keempat cari teman atau komunitas yang mempunyai tujuan yang sama untuk mengelola keuangan, karena dukungan dari sekeliling itu penting,“ kata Ka Jit.

Baca: Milenial Sulit Menabung, Masalahnya Hanya Gaya Hidup?

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."