Orang Banyak Percaya Minum Susu Bersihkan Paru-Paru, Ini Kata Dokter

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Mitra Tarigan

google-image
Ilustrasi Kanker paru-paru. Wikipedia

Ilustrasi Kanker paru-paru. Wikipedia

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Ada banyak informasi yang beredar soal kesehatan. Dokter spesialis patologi anatomi RS Dharmais, dr. Evlina Suzanna mengatakan salah satu mitos yang sering ditelan masyarakat adalah soal minum susu untuk membersihkan paru-paru. Evlina mengatakan pernah ada informasi bahwa ada orang yang percaya bahwa dengan minum susu rutin selama sepekan atau bahkan sebulan bisa membersihkan paru-paru para perokok yang rusak akibat kebiasaan buruk itu. "Tidak ada hubungannya minum susu selama seminggu, dua minggu, sebulan dengan pembersihan paru," ujar dia dalam virtual media briefing bertema "Hari Kanker Paru Sedunia 2021: Situasi dan Penanganan Kanker Paru pada Masa Pandemi COVID-19", Kamis 26 Agustus 2021.

Merokok merusak saluran dan kantung udara kecil (alveoli) di paru-paru. Evlina mengatakan, kerusakan yang terjadi bisa mencapai DNA dan perlu waktu sekitar 30 tahun untuk membebaskan DNA ini dari efek buruk akibat merokok. "Jadi, apabila seseorang telah merokok berat atau ringan itu nanti membebaskan DNA ini dari efek rokok itu berpuluh-puluh tahun," kata dia yang juga menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Perhimpunan Onkologi Indonesia (POI) itu.

Dalam pemaparannya, Evlina juga menyampaikan bahwa orang yang menjadi penyintas kanker paru karena rokok, hanya memiliki harapan hidup sebesar 45 persen. Dia menyebutkan hanya 3,5 persen kasus pasien penderita kanker paru yang bertahan lebih dari 5 tahun. “Per-seribu hari itu kasus semakin naik, harapan satu tahun saja hanya 45 persen,” kata Evlina.

“Dalam 5 tahun mungkin hanya tersedia 3 atau 4 orang dari 100 penderita kanker tersebut,” katanya membandingkan cepatknya kanker paru itu menyebar sehingga menurunkan harapan hidup para pasiennya.

Dengan resiko tersebut, penting untuk menghentikan penyebab kanker dengan menghentikan penyebab utamanya yaitu berhenti merokok. Untuk mencegah terjadinya kanker paru-paru, para dokter sangat menyarankan agar menjauhi merokok, makan banyak buah dan sayur, dan yang ketiga yang penting adalah melakukan aktivitas rutin.

Selain berhenti merokok, upaya lain yang dapat dilakukan untuk mengurangi kasus kanker dapat dilakukan dengan meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap penyakit kanker paru. “Jumlah ini akan terus meningkat apabila kita tidak punya action terhadap pencegahan ataupun kepedulian ataupun deteksi diri dari penyakit kanker paru,” kata Evlina.

Dokter spesialis penyakit dalam (Hematologi-Onkologi Medik) RSCM, Ikhwan Rinaldi menjelaskan bahwa rokok menjadi penyebab utama seseorang terkena kanker paru. Ikhwan menyampaikan bahwa 80 persen pasien kanker yang ditemui adalah perokok aktif maupun pasif. “Penyebab 80 persen pasien karena kanker paru itu adalah merokok, dan orang orang yang merokok ini akan kemungkinan terkena kanker paru 20-50 kali lipat,” kata Ikhwan

Dia juga mengatakan bahwa dari data yang ditemukan, tercatat telah terdapat 7000 kasus kematian per tahun yang disebabkan oleh kanker akibat rokok pasif.

Tidak hanya rokok, Ikhwan memaparkan bahwa terdapat berbagai kemungkinan lain yang menjadi penyebab kanker seperti diet tinggi dengan daging merah atau faktor keturunan. Meskipun demikian, rokok masih menjadi penyebab utama dari kanker paru.

“Ada juga hal hal lain yang mungkin tidak terlalu berperan tapi perlu kita sebutkan, misal diet dengan daging merah dengan makan daging kering dan well done,” tutur Ikhwan

“Tapi yang paling penting adalah merokok, merokok bisa menyebabkan 20-30 kali untuk menyebabkan kanker paru,” kata Ikhwan

Bagi perokok, dampak kanker tidak akan dirasakan langsung setelah mengkonsumsi rokok, namun dampak akan dirasakan bisa memakan waktu bertahun-tahun.

Baca: Kurma Direndam Susu, Rasanya Lezat dan Kaya Manfaat

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."