Sejarah Jas Hujan, Ada Kaitan dengan Rumah Mode dan Putri Inggris

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Silvy Riana Putri

google-image
Warga memakai jas hujan dan payung saat merayakan malam Tahun Baru 2020 di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Rabu, 1 Januari 2020. Bundaran HI merupakan salah satu tempat favorit warga Jakarta dan sekitarnya untuk merayakan malam pergantian tahun 2019 ke 2020. TEMPO/M Taufan Rengganis

Warga memakai jas hujan dan payung saat merayakan malam Tahun Baru 2020 di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Rabu, 1 Januari 2020. Bundaran HI merupakan salah satu tempat favorit warga Jakarta dan sekitarnya untuk merayakan malam pergantian tahun 2019 ke 2020. TEMPO/M Taufan Rengganis

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Jas hujan sudah dikenal sejak dulu sebagai sahabat di kala hujan mengguyur selain payung, atau setidaknya sejak Charles Macintosh mematenkan jas hujan berbahan karet plastic mac untuk kali pertama pada 1823.

Namun, momen paling ikonik terjadi saat Thomas Burberry menemukan kain gabardin atau jenis kain poliester yang secara sepintas mirip dengan Twill, yang nyaman dipakai dan mempunyai kerapatan yang lebih renggang daripada Twill, 56 tahun kemudian. Bahan ini lebih tahan terhadap cuaca dan sempat digunakan tentara selama Perang Dunia I.

Bahan plastik kemudian dikenal pada tahun 1950-an dan menjadi populer setelah Perang Dunia II, ketika produksi kain sintetis melonjak dengan harga yang relatif terjangkau, menurut laman who.com.au. Salah satu bahan yang digunakan, Polyvinyl chloride (PVC) dengan satu warna dominan.

Laman The Telegraph menyebut pada 1970, Putri Anne dari Inggris mengenakan ponco berbahan PVC dengan warna merah mawar dalam sebuah kunjungan. Dulu, jas hujan dianggap tak bisa digunakan sebagai bagian dari fashion karena sering kali terlihat seperti kantong sampah besar.

Para perancang lalu membuat siluet yang bagus, desain warna-warni, dan busana yang nyaman. Jas hujan tembus pandang yang beberapa tahun lalu diperkenalkan membuktikan barang ini bisa dibuat untuk bergaya.

Sejumlah selebritas, seperti Ariana Grande, pernah memakainya pada 2015, lalu Joan Smalls pada 2017 dan Christina Milian, dua tahun kemudian.

Bagaimana di Indonesia? Perancang busana Lisa Fitria berpendapat di Indonesia jas hujan belum menjadi bagian dari fashion, karena masih sebatas pada kebutuhan menghindari air hujan. Apalagi, tingkat tutupan jas hujan lebih baik ketimbang payung.

"Hanya, jas hujan yang ada belum dipikirkan secara fashion-nya. Tapi, sekarang beberapa label sudah mengeluarkan produk yang mengarah ke sana, bukan jas hujan tetapi anti-air, misalnya jaket tipis. Fungsinya bisa sama seperti jas hujan," kata ia.

Di luar produk yang dikeluarkan sejumlah merek, jas hujan plastik lebih dikenal, biasanya menggunakan bahan PVC dan HDPE dengan ragam model. Namun, kebanyakan jas hujan hanya atasan selutut. Warna yang dipilih umumnya terang karena lebih banyak digunakan siang hari dibanding malam hari.

Jas hujan mirip kantong plastik sekali pakai juga belakangan hadir dan cukup digemari kalangan muda karena praktis. Jas ini kerap digunakan para pengendara motor dan penumpangnya, berukuran sekitar 90 sentimeter atau selutut orang dewasa.

Bak jas hujan pada umumnya, ada penutup bagian kepala dengan fungsi ganda yakni menghindari kepala terkena air hujan dan pelindung dari helm motor yang basah. Beberapa jas juga dilengkapi tali pengencang di bagian kepala, menambah kesan sedikit gaya.

Selain plastik, bahan parasut juga digunakan dan cenderung lebih trendi, terutama saat berkendara menggunakan motor dan berjalan kaki. Lisa menilai para perancang di Tanah Air punya kesempatan menciptakan jas hujan yang, fungsional sekaligus membuat pemakainya bisa trendi, seiring meledaknya dunia fashion saat ini.

"Kesempatan di dunia fashion, menciptakan jas hujan yang sesuai fungsinya tetapi tetap bisa fashionable. Bisa dibuat jas hujan dengan model jumpsuit, yang sampai ke kaki. Bisa didesain keren hingga ke sepatu, jadi enggak kena air. Ada hoodie-nya, bisa dilepas," Lisa menjelaskan.

Soal bahan, dia menyarankan nilon dibanding plastik karena lebih mudah kering, bisa digunakan berkali-kali, dan tentu saja ramah lingkungan.

"Paling enak nilon karena lebih cepat kering," ungkap Lisa.

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."