Jangan Samakan Stunting dan Berperawakan Pendek, Ini Kata Dokter

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Yayuk Widiyarti

google-image
Ilustrasi perbandingan tinggi badan anak. shutterstock.com

Ilustrasi perbandingan tinggi badan anak. shutterstock.com

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Stunting dan berperawakan pendek kerap disamakan secara kasat mata. Kemiripan dari tampak luar ini ternyata memiliki dampak kesehatan yang berbeda.

Stunting adalah perawakan pendek yang disebabkan oleh kekurangan gizi jangka panjang atau malnutrisi kronik. Penyebab pertamanya bisa dari asupan nutrisi yang tidak optimal dipicu ketidaktahuan orang tua atau kondisi ekonomi yang sulit.

Faktor kedua bisa dari kebutuhan nutrisi yang meningkat akibat kondisi kesehatan suboptimal akibat penyakit, misalnya diare akibat sanitasi buruk, ISPA berulang karena tidak imunisasi.

Baca juga:

Apa Itu Stunting dan Cara Terbaik Menangani Balita Stunting


Cegah Bayi Stunting, Perhatikan Hal Ini Sebelum Bayi 2 Tahun

“Para orang tua jangan dengan mudah mengucapkan anak berperawakan pendek itu stunting. Ini penting agar tidak salah kaprah. Penilaian tersebut harus melalui sejumlah tes dan dilakukan oleh orang berkompeten di bidangnya, seperti dokter spesialis anak,” ungkap dokter anak spesialis nutrisi dan penyakit metabolik pada anak, Dr. dr. Damayanti Rusli Sjarif, SpA(K), dalam acara FFI MilkVersation Hari Gizi Nasional 2019 di Jakarta Pusat, Rabu, 23 Januari 2019.

Prevalensi Stunting di Indonesia 2018

“Stunting selalu dimulai dengan penurunan berat badan dan terjadi penurunan fungsi kognitif. Sementara perawakan pendek itu banyak klasifikasi ke bawahnya. Terbagi menjadi dua, yaitu proporsional dan tidak proposional. Di bagian proposional dipecah lagi menjadi variasi normal dan patologis. Stunting termasuk ke dalam kategori patologis," jelasnya.

"Anak berperawakan pendek bukan berarti fungsi kecerdasannya berkurang. Sementara itu, anak yang stunting pasti mengalami penurunan kecerdasan karena malnutrisi kronik. Tingkat IQ-nya tidak akan bisa menyamai teman sebayanya yang tidak stunting,” sambung Damayanti.

Berdasarkan data terbaru Riskesdas 2018, prevalensi stunting di Indonesia sebesar 30,8 persen, masih jauh di atas ambang ketetapan WHO, yaitu 20 persen. Di ASEAN, Indonesia menempati posisi ketiga dan di dunia berada di rangking ke-5. Kondisi mengkhawatirkan ini sudah disadari oleh pemerintah dengan memasukkan pencegahan stunting ke dalam salah satu program prioritas nasional.

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."