Kolektor ulos Vilidius P. Siburian saat menghadiri Ulo;s Fest 2019 di Museum Nasional, Jakarta, Rabu, 13 November 2019. (TEMPO/Eka Wahyu Pramita)

ragam

Mengulik Makna di Balik Ragam Motif di Kain Ulos

Senin, 18 November 2019 11:35 WIB
Reporter : Tempo.co Editor : Silvy Riana Putri

CANTIKA.COM, Jakarta - Indonesia kaya akan wastra Nusantara, salah satu di antaranya ialah kain ulos dari Sumatera Utara. Kain yang jadi lambang pemersatu sekaligus identitas orang Batak ini memiliki ratusan motif dengan makna yang berbeda.

Hampir semua ulos memuat pesan moral dan saluran berkat bagi si penerima atau pemakainya. Orang Batak Toba menyebutnya "parhitean" atau saluran berkat bagi yang menerima. Dengan memberi ulos artinya terselip doa untuk kebaikan.

Kolektor dan pemerhati ulos Vilidius P. Siburian mengatakan, biasanya kain tua warna dasarnya merah bata, biru, hitam, dengan motif yang berbeda-beda. Semua motif punya nama dengan makna berbeda.

Misalnya bintang maratur seperti bintang yang diberikan untuk kelahiran dan tujuh bulanan sebagai lambang harapan untuk anak dan kebahagiaan dia. Sementara mangiring artinya beriringan. Ini bisa diberikan ketika datang ke orang yang melahirkan atau pindah rumah. Maknanya teriring doa baik untuk si anak atau tempat yang baru.

"Kain motif sadum atau bintang maratur bisa dipakai keseharian," ucap Vili usai ditemui di acara diskusi di pameran Ulos Fest 2019 di Museum Nasional Indonesia, Jakarta, Rabu, 13 November 2019.
Namun, ada beberapa ulos adat yang hanya boleh dipakai orang tua yang punya anak atau cucu seperti ragidup dan pinussan. Keduanya biasanya dipakai di upacara adat dan mengandung doa terberkati.
Kain ulos motif ragidup yang dipamerkan di Ulos Fest 2019 di Museum Nasional pada 12-17 November 2019. TEMPO/Eka Wahyu Pramita

Selain itu, ulos ragidup diberikan oleh orang tua pengantin perempuan kepada orang tua pengantin laki-laki sebagai perlambang harapan orang tua itu dapat mempertahankan hidup (melindungi) menantunya dengan pertolongan Tuhan.

Sementara ulos silinggom, yang berasal dari kata "marlinggom" atau berlindung di bawah kebijaksanaannya, paling tepat diberikan kepada anak yang punya pangkat dan kuasa. Ragidup Silinggom tidak diperjualbelikan, hanya akan ditenun bila ada pemesannya.

Bahan ulos bisa dilihat dan dirasakan teksturnya dengan cara dipegang. Kalau kain dari kapas seratnya lebih kasar sementara kalau sutera lebih halus.

Terdapat lebih dari 100 lembar ulos koleksi pria 34 tahun itu yang dipamerkan di Ulos Fest 2019. "Mulai yang baru, usianya ratusan tahun dan tidak diproduksi lagi. Paling mahal relatif ya, kalau yang baru 300-400-an ribu, kalau yang tua pernah sampai puluhan juta. Bahannya masih dari kapas," kata Vili yang sudah mengoleksi kain ulos sejak SMA ini.

Meski ulos memiliki pakem, Vili berhatap ulos atau kain tradisional lainnya bisa berkembang. Tak harus mengubah pakem, motif ulos yang beragam bisa diadopsi untuk pakaian ready to wear.

EKA WAHYU PRAMITA