Dampak Negatif dan Panjang Melibatkan Anak di Kerusuhan

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Yayuk Widiyarti

google-image
Warga melintas di wilayah terdampak kerusuhan Aksi 22 Mei di kawasan Tanah Abang, Jakarta, Kamis 23 Mei 2019. Kondisi Jakarta berangsur kembali normal pascakericuh Aksi 22 Mei. ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso

Warga melintas di wilayah terdampak kerusuhan Aksi 22 Mei di kawasan Tanah Abang, Jakarta, Kamis 23 Mei 2019. Kondisi Jakarta berangsur kembali normal pascakericuh Aksi 22 Mei. ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso

IKLAN

CANTIKA.COM, Jakarta - Psikolog dan tokoh anak Seto Mulyadi mengatakan keterlibatan anak-anak dalam demonstrasi yang menuai kerusuhan 22 Mei pascapenetapan hasil Pemilu 2019 akan berdampak negatif bagi perkembangan psikologis anak dan memberikan citra negatif pemahaman politik.

"Saya mencoba untuk sepintas menanyakan beberapa anak langsung dan beberapa orang tua, dan itu dikeluhkan bahwa mereka langsung mengatakan politik kotor, politik itu jahat dan sebagainya, politik itu permusuhan dan sebagainya, artinya memberikan citra negatif terhadap pemahaman politik maupun para politisi," kata Seto.

Dengan situasi ricuh itu di tengah polemik politik maka akan menimbulkan kebencian di antara anak-anak dan akan membuat mereka memiliki citra negatif terhadap politik, politisi, dan partai politik.

Baca juga:

Kerusuhan 22 Mei, Sherina: Sejarah Mencatat

Anak-anak dikhawatirkan memiliki pandangan kalau politisi adalah sosok yang jahat dan penuh permusuhan dan mereka tidak ingin bermimpi menjadi seorang politisi.

"Mereka yang menonton saja mengalami, mendengar, dan sebagainya itu cukup banyak yang mengalami stres, takut, ngeri, enggak berani sekolah," tutur Seto, yang juga Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI).

Menurutnya, seharusnya semua pihak termasuk para politisi bisa mencerminkan dan mengajarkan bahwa politik bisa santun dan demokrasi penuh perdamaian dan kerja sama bukan kekerasan dan kericuhan. Dia mengatakan seharusnya anak-anak tidak dilibatkan dalam aksi kerusuhan tersebut karena Undang-undang Perlindungan Anak menyatakan bahwa tidak boleh ada eksploitasi terhadap anak, baik di bidang ekonomi, eksploitasi seksual, maupun di bidang politik.

"Anak-anak tidak boleh dilibatkan dalam politik praktis," ujarnya.

Sejumlah petugas beraktivitas pascakerusuhan di Jalan MH Thamrin, Jakarta, Kamis 23 Mei 2019. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar

Dia juga mengatakan pemerintah harus menindak tegas para provokator yang memicu kericuhan pada demonstrasi yang mengancam persatuan dan kesatuan serta keamanan bangsa. Melindungi anak juga memerlukan pemberdayaan lembaga-lembaga di lingkungan masyarakat termasuk RT dan RW serta warga desa atau sekitar lingkungan rumah untuk mengingatkan satu sama lain bahwa anak-anak tidak perlu dilibatkan dalam aksi yang menuai kericuhan atau dieksploitasi untuk kepentingan politik.

"Marilah kita rukun kita buang sementara perbedaan seperti perbedaan agama, kulit dan pandangan politik, kita betul-betul kembali kepada suasana penuh kedamaian gotong royong dan seterusnya, itu terus dikampanyekan termasuk juga oleh para politisi itu sendiri diingatkan kembali," ujarnya.

Artikel lain:
Kerusuhan 22 Mei, Simak Cara Melindungi Keamanan Anak

 

Anak-anak yang terlibat dalam demonstrasi harus diberikan pengarahan yang positif dan pendidikan politik agar tidak mudah dieksploitasi untuk kepentingan sekelompok orang.

"Mereka bagaimana juga adalah korban juga dari pengarahan-pengarahan yang negatif, bujuk rayu atau ajakan-ajakan dan sebagainya. Kalau toh pun mereka harus mendapatkan sanksi, maka sanksinya adalah sanksi edukatif memang untuk anak bukan berdasarkan pemidanaan pada orang dewasa," ujarnya.

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."