Suami Istri Cekcok, Ingat 3 Kata Ini untuk Berpikir Jernih

foto-reporter

Reporter

foto-reporter

Editor

Rini Kustiani

google-image
Ilustrasi pasangan bertengkar. shutterstock.com

Ilustrasi pasangan bertengkar. shutterstock.com

IKLAN

TEMPO.CO, Jakarta - Menjalani biduk rumah tangga tak selalu lancar. Kadang kala ada saja yang membuat istri atau suami kesal kepada satu sama lain. Mulai dari masalah sepele, sampai mungkin persoalan besar yang dikerdilkan oleh salah satu pasangan. Jika suasana tak nyaman dalam rumah tangga dibiarkan berlarut-larut, bukan tidak mungkin hubungan suami istri terancam dan berujung pada perceraian.

Baca juga:
Sandra Dewi Tak Sadar Sudah Bukaan 1 dan 2, Sempat Marahi Suami

Psikolog keluarga Ajeng Raviando dari Teman Hati Konseling menjelaskan, cekcok suami istri bisa terjadi akibat individu yang kurang mengenal karakter diri sendiri dan pasangan sebelum menikah. Akibatnya, kebutuhan pribadi dan pasangan tidak terpenuhi. "Masing-masing pihak kurang mempersiapkan kematangan diri dan baru menyadari ketidakcocokkan setelah menikah. Padahal menikah itu butuh kematangan psikologis," kata Ajeng kepada Bintang.

Solusinya, setiap pasangan harus punya kemampuan mengkomunikasikan kebutuhannya masing-masing. Komunikasi adalah kata kunci pertama supaya suami atau istri bisa berpikir jernih. Sebelum menyampaikan kebutuhan diri, pasangan harus menyadari kelebihan dan kekurangan diri dan pasangannya.

Ilustrasi pasangan bertengkar. Shutterstock

Ajeng mencontohkan, terkadang suatu kualitas yang awalnya dianggap sebagai kelebihan pasangan justru menjadi kekurangan setelah menikah. "Misalnya, pasangan sangat perhatian ketika pacaran, sering bertanya sudah makan belum, dan lainnya. Setelah menikah, sikap perhatian ini malah dianggap mengganggu," ujar Ajeng.

Perubahan peran dalam rumah tangga juga bisa memicu konflik. Sebagai kata kunci kedua, perubahan ini adalah keniscayaan, termasuk dalam urusan rumah tangga. Contoh, pasangan yang berjiwa petualang. Ketika punya anak, perannya bertambah menjadi seorang ayah atau ibu. Maka kualitas yang dimilikinya turut berubah.

Menurut Ajeng, berbagai perubahan ini wajib disadari dan diterima masing-masing pihak. "Terkadang salah satu pihak merasa pasangannya telah berubah dan tidak sama seperti sebelumnya. Tapi memang sepanjang hubungan justru orang itu terus berubah," kata Ajeng.

Setiap pasangan juga harus sadar tidak ada orang yang benar-benar cocok. Dengan begitu, toleransi sebagai kata ketiga dalam menjalin hubungan sangat dibutuhkan. Artinya, menyadari kebutuhan pasangan dan mengesampingkan ego diri sendiri. Setelah itu, melakukan kompromi dengan mempertimbangkan kebutuhan masingmasing. "Ketika berkonflik, ingat pasangan itu kita yang milih sendiri, ada rasa tanggung jawab atas pilihan sendiri," ucap Ajeng.

AURA

Iklan

Berita Terkait

Rekomendasi Artikel

"Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini."